Pariwisata Lombok sedang dalam momentum yang bagus hari ini. Destinasi baru terus bermunculan, festival-festival musik dan budaya juga semakin masif. Di antara itu ada suara yang sayup-sayup terdengar bahkan nyaris tenggelam karena riuh panggung besar. Yaitu suara para musisi yang lahir, tumbuh, dan berkarya di tanah ini.
Lombok cendrung dikenal orang sebagai destinasi wisata yang kaya dengan keindahan alam. Padahal lombok juga kaya dengan keragaman musikal. Di pulau ini, kita bisa menemukan jenis musik yang hampir lengkap, dari tradisi hingga musik elektronik (bahkan eksperimen). Dari genre A sampai Z. Musik di sini hidup, tumbuh secara organik, dan menjadi bagian dari denyut yang mengisi setiap sudut. Namun pertanyaan apakah musisi Lombok ikut menikmati kemajuan industri pariwisata?
Pertanyaan ini bukan untuk menyudutkan siapa pun, melainkan untuk merefleksikan dan berpikir ulang. Dalam banyak event musik yang digelar, musisi dari luar daerah masih mendominasi panggung utama. Sementara para musisi dari Lombok sering kali ditempatkan sebagai pembuka, pengiring, atau bahkan tampil siang hari yang sepi penonton. Apakah tidak bisa dibuat regulasi atau kebijakan yang mendorong agar musik yang diputar di toko oleh-oleh, hotel, atau tempat wisata berasal dari karya-karya musisi daerah ini?
Bukankah aneh jika wisatawan asing datang untuk merasakan “suasana Lombok” tapi mendapatkan lagu-lagu dari ibu kota atau negara mereka?
Banyak musisi dari Lombok yang sudah menghasilkan karya profesional. Beberapa berhasil menembus panggung internasional. Juga dalam dunia digital, dalam beberapa kanal YouTube bisa kita temukan musisi-musisi Lombok berhasil meraih jutaan penonton. Ini bukan soal kualitas, tapi soal kesempatan. Dalam sistem lama industri musik, ada pusat selalu menjadi tolak ukur utama (baca jakarta). Sekarang adalah musik tidak lagi bergantung pada satu kota atau label besar. Justru sekarang adalah saat yang tepat untuk mendistribusikan karya langsung ke pendengar tanpa sekat apapun.
Sayangnya, industri pariwisata kita belum cukup adaptif terhadap kenyataan ini. Musik yang seharusnya bisa menjadi elemen kuat untuk pengalaman wisata, masih dianggap hanya pelengkap. Padahal musik bisa membentuk suasana atau menyampaikan cerita dengan baik. Musik adalah seni pertunjukan yang berdiri sendiri. Ia tidak perlu selalu menyatu dalam drama atau tari untuk bisa menjadi representasi budaya.
Apa yang bisa kita lakukan?
Tentu banyak hal yang kita bisa lakukan jika kita ingin. Salah satunya, pemangku kebijakan dan pengelola destinasi wisata bisa mulai dari hal sederhana yaitu membuat regulasi agar tempat wisata memutar musik dari musisi yang tinggal dan berkarya di NTB. Atau membuat playlist yang dikurasi kemudian diputar di ruang publik wisata. Cara lain adalah festival-festival musik atau event pariwisata bisa memberi ruang yang setara. Bukan berarti menutup kesempatan musisi dari luar, tetapi membuka ruang bagi musisi Lombok. Toko oleh-oleh bisa menjual merchandise dari musisi Lombok. Hotel dan Bandara menghadirkan pertunjukan musik reguler dari musisi Lombok. Ini bukan sekadar dukungan simbolik tetapi tentang membangun ekosistem.
Semua itu tidak mungkin terealisasi jika hanya satu pihak yang sadar. Dibutuhkan kesadaran kolektif dari pemerintah, pelaku usaha, pelaku wisata, media, dan tentu saja komunitas musik itu sendiri. Harus ada satu pikiran bahwa musisi yang berkarya di sini tidak boleh terus berada di pinggir panggung.
Saya tidak terlalu menyukai istilah “musisi lokal” dan “nasional”, kita sedang tidak membahas tentang itu. Karena dalam dunia musik, tidak ada batas geografis pada kualitas. Yang ada hanyalah siapa yang punya ruang. Jika kita ingin menjadikan Lombok sebagai destinasi budaya dunia, maka suara dari musisinya harus menjadi suara utama. Bukan gema dari luar. Bukan hanya tempelan untuk agenda pencitraan. Musik dari Lombok adalah bagian dari identitasnya, dan musisinya pantas untuk didengar dan dihargai.