Setelah sebelumnya sempat mengumumkan batalnya acara Mataroom Tropical Girls, Mataram City Sound (MCS) kembali menunjukkan kegigihan dan konsistensinya dalam mendukung geliat musik lokal. Tanpa menunggu lama, mereka merilis poster ACE Takeover—sebuah gigs musik yang dilangsungkan tepat pada Hari Buruh, 1 Mei 2025, di ACE HQ, Mataram.
Sebelumnya, Mataroom Tropical Girls mengusung tema perayaan peran perempuan dalam skena musik Lombok, bertepatan dengan momen Hari Kartini. Beberapa pelaku perempuan di skena tersebut sempat diwawancarai untuk proyek video pengantar acara. Sayangnya, acara itu batal karena alasan yang tak sepenuhnya dijelaskan. Namun, semangat dan substansi acara tersebut tetap membayang dalam ACE Takeover.
Walaupun kini temanya melebur dengan peringatan Hari Buruh, jejak gagasan “perempuan dalam musik” tetap terasa: line-up utama seperti The Dare, Ladies First, dan Little Mascara tetap didominasi oleh musisi perempuan, dan video wawancara para pelaku perempuan tetap dipublikasikan di kanal media sosial mereka.
Ruang Kecil, Kedekatan Besar
ACE HQ, sebagai tempat berlangsungnya gigs, merupakan salah satu kedai kopi populer yang sekaligus, malam itu, berfungsi sebagai ruang alternatif bagi pentas musik. Skala tempat yang kecil justru menjadi kekuatan: suasana intim antara musisi dan penonton menciptakan kedekatan yang jarang dijumpai dalam event musik besar. Tak hanya itu, keterlibatan Capital HQ, Konser Lombok, Noise Tenggara, Harian Musik Lombok, dan media partner lainnya membuktikan bahwa gigs ini adalah buah dari kerja kolektif yang hidup.
Namun, seperti dua sisi koin, ruang kecil juga membawa sejumlah keterbatasan: kapasitas terbatas membuat tidak semua penonton bisa masuk secara bersamaan. Beberapa penonton bahkan memilih datang bergantian, menyesuaikan dengan band favorit mereka. Penampilan The Dare jelas menjadi puncak acara: band ini memang sudah punya reputasi dan basis penggemar yang cukup kuat. “Ubur-ubur ikan lele, The Dare comeback, le!” celetuk sang vokalis, memancing sorak sorai penuh rindu dari penonton.
Sementara itu, Ladies First dan Little Mascara juga mendapat sambutan hangat. Meski lebih sedikit, penonton mereka interaktif dan bernyanyi bersama dalam setiap lagu yang dibawakan.

Ketimpangan yang Masih Terasa
Meski membawa narasi “perempuan dalam musik”, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa dominasi laki-laki masih terasa—baik sebagai penonton maupun sebagai musisi tambahan. Hampir semua band perempuan malam itu tetap melibatkan personel laki-laki, setidaknya sebagai additional player. Bahkan dalam ruang gigs yang sempit dan non-formal seperti ACE HQ, meskipun suasana terasa lebih aman dan terbuka, ketimpangan partisipasi tetap nyata. Aksi stage diving dari penonton laki-laki, misalnya, meski dilakukan dalam euforia, justru memaksa sebagian penonton perempuan untuk mundur ke pinggir, merasa tidak nyaman untuk turut larut dalam kerumunan karena khawatir terdorong atau tersenggol.
Tanpa keberpihakan yang eksplisit—baik dalam pengaturan ruang maupun dalam kesadaran kolektif atas kultur—narasi kesetaraan gender dalam gigs musik bisa dengan mudah kembali menjadi bias. Ia bisa marginal terhadap perempuan, bahkan dalam ruang yang semula diniatkan inklusif.
Namun, di sisi lain, keberadaan musisi laki-laki dan perempuan dalam satu panggung bukan semata-mata cerminan ketimpangan. Ia juga bisa dibaca sebagai bentuk kolaborasi yang utuh. Dalam banyak penampilan malam itu, interaksi antara musisi laki-laki dan perempuan justru menunjukkan dinamika yang saling mengisi. Karakter dan perspektif yang dibawa oleh masing-masing gender menciptakan lapisan ekspresi musikal yang lebih kaya. Musik menjadi ruang lintas batas, tempat suara-suara yang berbeda berdampingan tanpa saling mendominasi. Alih-alih menjadi soal siapa yang lebih kuat atau lebih layak tampil, kolaborasi ini menunjukkan bahwa kesetaraan bukan berarti seragam, melainkan seimbang—dengan perbedaan yang diakui dan dihargai.
Justru dalam ruang seperti inilah, keseimbangan itu bisa diuji dan diperlihatkan: bahwa panggung musik mampu menjadi tempat pertemuan antara kekuatan feminin dan maskulin, antara kelembutan dan keberanian, antara suara yang lama dibungkam dan yang selama ini lantang. Maka bukan soal menghapus salah satu, tapi bagaimana keduanya bisa hadir bersama—dengan saling menghormati ruang, suara, dan cara mereka berbicara melalui musik.

Estetika yang Terkalahkan oleh Gaya Hidup
Satu catatan penting lainnya adalah perubahan orientasi penonton terhadap pertunjukan musik. Banyak penonton kini tak benar-benar hadir untuk menikmati musik secara khusyuk, melainkan untuk memotret dan merekam, lalu membagikannya ke media sosial. Kamera-kamera ponsel yang teracung di udara justru menghalangi pandangan penonton lainnya. Fenomena ini mencerminkan pergeseran dari pengalaman estetis menuju konsumsi visual dan prestise sosial. Menonton gigs kini bukan sekadar hiburan atau penghayatan, tapi juga gaya hidup dan ajang pamer kehadiran.

Masalah Teknis dan Ruang Alternatif
Sebagai ruang non-formal, ACE HQ belum memiliki fasilitas teknis ideal untuk gigs musik. Akustik ruang menyebabkan suara menggema dan tidak terdengar jernih, terutama ketika penonton penuh. Minimnya pencahayaan menyulitkan dokumentasi, bahkan mengganggu kenyamanan musisi dan penonton ketika kamera dengan lampu menyala diarahkan ke panggung.
Namun begitu, gigs ini tetap menjadi penanda penting bahwa ekosistem musik lokal—terutama yang memberi ruang pada musisi perempuan dan kolektif komunitas—masih tumbuh dan bergeliat di Mataram. ACE Takeover menjadi bukti bahwa ruang kecil bisa menciptakan dampak besar, asal dijalankan dengan semangat keberlanjutan, solidaritas, dan kesadaran kritis.