Di awal saya harus menegaskan tulisan ini hanya akan menampilkan argumentasi dari pendekatan sejarah dan kajian ilmiah terkait dengan musik karena selama ini perdebatan pada ranah ini hampir sepenuhnya didominasi oleh pendekatan tafsir atas berbagai macam dalil, sehingga perspektif dari pendekatan lain menjadi penting untuk dihadirkan sebagai referensi alternatif bagi setiap individu untuk mengambil sikap masing-masing.
Musik Di Masa Kenabian
Di masa Nabi Muhammad ﷺ sudah ada bentuk seni musik, meskipun tentu saja tidak dengan bentuk yang kita kenal di era modern sekarang ini. Pada saat itu ada beberapa jenis seni musik yang berkembang seperti: Nasyid dan Syair dimana syair sering dilantunkan termasuk oleh beberapa sahabat seperti Hassan bin Tsabit, seorang penyair terkenal yang sering menyampaikan pembelaannya terhadap Islam melalui syairnya. Lalu ada juga Duf (Rebana), sebuah alat musik yang diizinkan dan digunakan dalam beberapa kesempatan seperti saat Nabi ﷺ tiba di Madinah dalam peristiwa Hijrah, kaum wanita menyambutnya dengan lagu Thala’al Badru ‘Alayna sambil menabuh duf. Bahkan dalam beberapa perayaan seperti pernikahan dan hari raya, duf juga digunakan sebagai hiburan. Terakhir adalah nyanyian para budak dan pekerja dimana mereka biasa menyanyikan lagu-lagu untuk menghibur diri saat bekerja. Bahkan, saat menggali parit dalam Perang Khandaq, para sahabat melantunkan syair sebagai penyemangat.
Yang perlu dicatat, dalam Islam ada norma dalam bermusik, yaitu menghindari hal-hal yang berbau maksiat atau menjadi sebab atas kelalaian dalam ibadah. Jadi, seni musik sudah ada di masa Nabi, tetapi lebih sederhana dan memiliki batasan tertentu seperti disebutkan di atas. Dan sikap Nabi sendiri terhadap musik ini tidak hitam-putih – lebih kontekstual. Ada situasi di mana beliau membolehkannya, ada juga saat beliau melarang tergantung pada isi, tujuan, dan dampaknya. Memang ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa alat musik tiup dan petik kurang disukai dalam konteks ibadah terutama jika berpotensi melalaikan dari agama. Namun, ulama berbeda pendapat tentang apakah larangan ini bersifat mutlak atau hanya dalam konteks tertentu. Jadi, meskipun alat musik ini sudah ada di zaman Nabi ﷺ, namun penggunaannya dalam budaya Islam masih menjadi perdebatan di kalangan ulama hingga kini.
Syiar Musik: Jembatan Budaya Penyebaran Islam di Indonesia
Faktanya di Indonesia, syiar dengan pendekatan budaya—termasuk melalui musik—telah memainkan peran penting dalam penyebaran Islam. Melalui berbagai bentuk kesenian lokal (yang pada perkembangannya bermetamorfosa dalam banyak bentuk), nilai-nilai keislaman disampaikan tidak hanya melalui dakwah bil lisan, tetapi juga melalui pendekataan kesenian yang efektif menggugah kesadaran spiritual baru yang bernama Islam . Pendekatan kultural ini mampu menyatu dengan tradisi lokal, membuka ruang dialog antar budaya, serta memberikan sentuhan humanis yang mendalam. Musik sebagai media syiar berhasil menjadi jembatan yang menghubungkan warisan tradisional dengan kepentingan syiar, sehingga tercipta komodifikasi pesan moral dan spiritual yang relevan dengan konteks kenusantaraan.
Bentuk-bentuk kesenian tradisional yang digunakan dalam syiar Islam antara lain: 1. Wayang dan Tembang Jawa, dimana Para Walisongo, terutama Sunan Kalijaga, melakukan penyisipan nilai-nilai moral, akhlak, tauhid, dan ajaran sosial Islam di dalamnya sehingga ajaran Islam menjadi mudah diterima oleh masyarakat Jawa pada masa itu. Beliau menciptakan lakon wayang yang berjudu “Jimat Kalimusadha” (dari kata “Kalimah Syahadat”), dan “Petruk Dadi Ratu” yang berisi pesan-pesan egalitarian dalam Islam, bahwa siapapun bisa menjadi pemimpin asal amanah. 2. Gamelan, tembang dakwah dan suluk (syair syufi) yang diciptakan oleh Sunan Bonang. Salah satu tembang dakwah yang masih populer dan dinyanyikan hingga saat ini adalah tembang “Tombo Ati” (Obat Hati”). Sementara Suluk yang diciptakan oleh Sunan Bonang, diantaranya berjudul Suluk Wijil, mengandung nilai-nilai filsafat islam, tauhid dan tuntunan kehidupan. Suluk lain yang dikenal adalah Suluk Linglung karya Sunan Kalijaga berisi ajaran tauhid dan perjalanan spiritual, yang disampaikan dalam bentuk musikalisasi puisi dengan tujuan pesan tersebut mudah dipahami oleh masyarakat pada masa itu. Pada perkembangannya media kesenian dalam syi’ar berkembang atau berevolusi dalam bentuk-bentuk seperti Rebana (banyak digunakan dalam zikir, qasidah, barzanji, dan maulid), Qasidah, Hadrah, Tari Saman dan banyak bentuk-bentuk lain di berbagai daerah.
Bayangkan seperti apa fragmen keagamaan di Indonesia tanpa pendekatan kesenian. Mestinya tidak berat untuk mengakui bahwa peran kesenian dalam syi’ar Islam memiliki posisi penting sebagai pola komunikasi yang relevan bagi kebutuhan syi’ar pada masa itu – bahkan di setiap zaman. Dari metodologi syiár yang dilakukan para wali saya menarik benang merah bahwa dakwah dan seni adalah kerja-kerja yang berasal dari tempat yang sama: hati. Hanya dakwah yang dilakukan dengan kelembutan yang terbukti membuat Islam diterima dengan baik dimanapun. Sebaliknya dakwah dengan narasi penuh emosi, hasutan, kata-kata kotor hanya akan menempatkan wajah Islam dalam persepsi publik persis seperti apa-apa yang keluar dari mulut sosok bersorban – migran dari negara miskin di Arab yang laku menjual khurafat di nusantara itu. Maka kembalikanlah Islam di Nusantara ini dengan wajah yang cocok dengan kebathinan masyarakat Indonesia yang sedari dulu sangat menghormati alam dan mencintai estetika.
Riset dan Bukti Ilmiah: Menelusuri Jejak Keajaiban Musik
Beberapa studi telah mengungkap bagaimana musik mempengaruhi otak dan emosi manusia, antara lain: Pertama, E. Glenn Schellenberg, dalam penelitiannya yang dipublikasikan di Psychological Science (2004), menemukan bahwa anak-anak yang menerima pelajaran musik menunjukkan peningkatan IQ yang signifikan dibandingkan dengan yang tidak. Temuan ini menegaskan bahwa musik mendorong neuroplastisitas dan mengoptimalkan fungsi kognitif sejak dini. Kedua, sebuah studi oleh peneliti di Massachusetts Institute of Technology pada tahun 2018 mengungkap bahwa pelatihan musik dapat meningkatkan kemampuan membaca dan pemahaman bahasa. Hasil riset ini menunjukkan bahwa jalur neural untuk pemrosesan musik dan bahasa saling berkaitan, memberikan dasar ilmiah bagi peran musik dalam pendidikan. Ketiga, penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Hyde dan rekan-rekannya, yang diterbitkan dalam Journal of Neuroscience pada tahun 2009, menunjukkan adanya perubahan struktural pada otak anak-anak yang mengikuti pelatihan musik. Temuan ini menegaskan bahwa musik dapat mempengaruhi perkembangan area-area otak yang berkaitan dengan pendengaran dan motorik. Keempat, dalam studi yang diterbitkan pada tahun 2013, Thoma dan koleganya menemukan bahwa mendengarkan musik dengan tempo lambat mampu menurunkan kadar kortisol, hormon stres, sehingga membantu mengatur respon emosional dan meningkatkan kesejahteraan psikologis. Kelima, penelitian yang dilakukan oleh tim dari University of London pada tahun 2019 mengungkap bahwa partisipasi dalam kegiatan musik kelompok secara signifikan meningkatkan kemampuan empati dan interaksi sosial.
Temuan-temuan riset ini secara konsisten menunjukkan bahwa musik bukanlah sekadar hiburan semata, melainkan agen yang mengoptimalkan fungsi otak, memperkaya pengalaman emosional, meningkatkan kreatifitas dan Imajinasi, serta meningkatkan kemampuan sosial dan empati yang pada akhirnya akan memudahkan upaya membangun interelasi sosial yang kuat.
Musuh-Musuh Perkembangan Peradaban Islam Yang Sebenarnya.
Pada bulan Agustus 2023, majalah CEOWORLD dan Global Business Policy Institute telah merilis survei yang mengukur tingkat religiusitas di 148 negara. Survei itu mengukur ketaatan masyarakat di suatu negara dalam menjalankan agama yang mereka anut. 10 besar negara paling religius tersebut adalah sebagai berikut: 1. Somalia (99,8%), 2. Nigeria (99,7%), 3. Bangladesh (99,5%), 4. Ethiopia (99,3%), 5. Yaman (99,1%), 6. Malawi (99,0%), 7. Indonesia (98,7%), 8. Sri Lanka (98,6%), 9. Mauritania (98,5%), 10. Djibouti (98,2%). Dari ke sepuluh negara itu hanya ada empat negara yang termasuk ke dalam negara berkembang yakni: Indonesia, Bangladesh, Sri Lanka dan Nigeria. Selebihnya negara miskin. Masing-masing negara tentu memiliki faktor penyebab kemiskinan yang berbeda-beda. Namun beberapa faktor pendukung yang berlaku di semua negara tersebut adalah terkait dengan praktek-praktek penyesatan logika masyarakat yang menyebabkan penurunan kemampuan bernalar dan kemiskinan estetika. Teknologi, pengetahuan dan kesenian menjadi tidak berkembang sehingga melahirkan masyarakat dengan daya saing yang rendah.
Di Indonesia sendiri halangan-halangan kemajuan itu kini diperparah dengan maraknya fenomena praktek-praktek penyesatan logika dalam bentuk: Taqlid (mengikuti pendapat tokoh yang dipercaya tanpa nalar kritis), khurafat (percaya pada cerita-cerita takhayul yang tidak masuk akal), serta pengkultusan yang berlebihan kepada tokoh-tokoh tertentu terutama dengan melekatkannya dengan kekuatan, kesaktian, karomah dan seterusnya. Religiusitas masyarakat dimanfaatkan untuk menyebarkan ketiga hal tersebut tanpa dalil yang bisa dipertanggungjawabkan. Tokoh-tokoh dengan klaim nasab yang masih diperdebatkan bermunculan dan melakukan eksploitasi agama lewat membangun dongeng-dongeng tentang karomah nenek moyang mereka, karomah makam-makam yang tidak memiliki bukti sajarah (atau bahkan makam palsu) untuk tujuan memperkuat eksistensi kelompok tertentu di Indonesia. Dan semua hal itu sesungguhnya adalah musuh peradaban modern yang nyata dan lebih berbahaya dari perbedaan khilafiyah soal halal-haram musik yang masih bisa diselesaikan oleh nalar masing-masing individu.
Menyikapi Zaman Dan Mengabaikan Kekeliruan Pemahaman
Jadi pemahaman yang kaku terhadap teks tradisional secara harfiah, dapat mengaburkan realitas bahwa setiap generasi memiliki hak untuk mengembangkan budayanya masing-masing. Budaya itu inklusif – termasuk musik di dalamnya. Lebih jauh lagi, menolak musik tanpa menyikapi manfaatnya adalah seperti menolak obat untuk sembuh dari penyakit-penyakit logika, estetika dan psikologis. Musik sebagai bagian dari budaya manusia, telah bertransformasi sesuai dengan dinamika zaman. Maka, alih-alih mengharamkan, seharusnya kita lebih memilih mengedepankan pemahaman kontekstual yang menghargai relasi mutualisme antara nilai kontemporer dan kemajuan ilmiah.
Dalam era di mana tren musik terus berkembang, kita malah dapat menggunakannya sebagai jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara tradisi dan inovasi. Dengan nalar dan bukti ilmiah sebagai landasan, kita seharusnya lebih mengerti kemanfaatan musik dalam kehidupan. Musik bukanlah musuh; ia adalah panggilan untuk merangkul kebaikan manusia dengan segala perkembangannya. Lebih jauh dari itu, musik juga bisa menjadi media untuk menanamkan kebaikan, meningkatkan kesalehan dan kecintaan pada semesta – sebuah skema yang berujung menjadi manifestasi akan kepatuhan kita kepada Tuhan kita yang satu: Tuhan yang maha indah.
Mustafa, Band Debu, mengatakan di channel YouTube all you can hear, bahwa pihak yang menyarankan musik menunjukkan belum mendalam pengetahuan Islamnya.
Pernyataan tersebut terjawab oleh tulisan Om Ari Garmono.
Sebagai tambahan catatan, Al Farabi sekitar 300H membuat buku berjudul Al Musisi Al Kabar (The Grand Book of Music) yang menjadi referensi studi musik global saat ini.
Gambaran mengenai perkembangan industri musik itu sendiri dapat kita simak dalam buku Mukadimah yang ditulis Ibn Khaldun 1300 Masehi. Pemusik disebutnya sebagai bentuk pertukangan yang memerlukan keterampilan.
Oh iya, saya mengomentari postingan ini setelah saya selesai picking dan fingering gitar dari 100bpm up to 300bpm. Sekedar untuk melatih koordinasi pikiran dengan jari pada sepasang tangan, yang kualitas bunyinya difilter oleh perasaan untuk mengevaluasi clarity bunyinya.
Ralat….teks “menyarankan” seharusnya ditulis “mengharamkan”.
Maaf
O, iya saya alpa memasukan fase itu. Terimakasih sudah melengkapi.