Hari Lebaran: Rockabilly, Punk, dan Kritik Sosial dalam Karya Ismail Marzuki

Di balik irama yang riang, lagu Hari Lebaran karya Ismail Marzuki bukan sekadar lagu perayaan Idulfitri, tapi juga sebuah kritik sosial. Lagu tersebut turut memotret Jakarta pada masa itu. Jika didengarkan lebih saksama, Hari Lebaran bukan hanya lagu keroncong atau musik tradisional Indonesia seperti yang sering diasumsikan banyak orang, tetapi juga memiliki unsur rockabilly, bahkan punk—sebuah gaya musik yang bisa dibilang mendahului zamannya.

Rockabilly, yang berkembang di Amerika Serikat pada 1950-an, dikenal dengan ritme cepat, pola akor sederhana, dan gaya vokal yang mengalir. Jika kita perhatikan Hari Lebaran, elemen-elemen ini cukup terasa. Lagu ini memiliki tempo yang ceria dan terkesan “mengayun”, mirip dengan bagaimana musik rockabilly mengajak pendengar untuk bergerak mengikuti ritme. Struktur chord-nya sederhana, dengan penggunaan pola repetitif yang kuat. Sangat menarik bahwa Ismail Marzuki menciptakan lagu ini di era ketika rockabilly bahkan belum masuk ke Indonesia secara luas. Bisa jadi, secara tidak sadar ia menciptakan sesuatu yang serupa dengan genre yang berkembang di belahan dunia lain. Bisa jadi pula, kemiripan Hari Lebaran dengan rockabilly adalah sesuatu yang tidak disengaja. Mungkin Ismail Marzuki tidak secara langsung terinspirasi oleh rockabilly, melainkan kebetulan menciptakan sesuatu yang mirip.

Selain rockabilly, lagu ini juga memiliki semangat punk. Bukan dalam bentuk musikalitas yang keras atau agresif, tetapi dalam keberanian menyelipkan kritik sosial dengan cara yang subtil namun tajam. Lirik “Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin” bisa diinterpretasikan sebagai sindiran terhadap kondisi sosial ekonomi saat itu. Apakah benar rakyat sudah sejahtera? Atau justru ini hanyalah slogan kosong yang diperdengarkan saat momen tertentu? Semangat ini mirip dengan spirit punk, yaitu bahwa musik bukan sekadar hiburan, tetapi juga medium untuk menyampaikan kritik terhadap ketimpangan sosial. Ismail Marzuki, dengan segala kejeniusannya, menyamarkan kritik tersebut dalam sebuah lagu yang tetap terasa meriah, sehingga bisa diterima oleh banyak kalangan tanpa menimbulkan kontroversi secara langsung.

Tak hanya mengandung kritik sosial, Hari Lebaran juga bisa dianggap sebagai dokumentasi musikal tentang suasana Jakarta pada masa itu. Liriknya berhasil membangun imajinasi tentang hiruk-pikuk kota pasca-Ramadan—kemacetan, antrean di mana-mana, dan euforia masyarakat yang kembali bersilaturahmi. Jika dibandingkan dengan lagu-lagu lain bertema Lebaran yang lebih bernuansa religi atau emosional, Hari Lebaran justru menghadirkan gambaran yang lebih konkret dan sosial.

Indonesia patut bangga dengan Ismail Marzuki. Beliau bukan hanya seorang komposer hebat, melainkan juga seorang pengamat sosial yang tajam. Hari Lebaran adalah bukti bahwa sebuah lagu bisa memiliki banyak lapisan makna. Secara musikal, lagu ini juga melampaui zamannya karena menampilkan elemen-elemen yang kelak menjadi ciri khas rockabilly dan punk. Lagu ini membuktikan bahwa musik populer bisa lebih dari sekadar hiburan. Dan Ismail Marzuki, dengan segala kecerdasannya, telah meninggalkan warisan yang tetap relevan hingga hari ini.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top