oleh: Yuga Anggana
Tidak banyak musisi di Indonesia yang berani menjelajahi jalur rockabilly, apalagi di Lombok, di mana aliran ini hampir tidak terdengar. Ranger Hijaw, dengan nama yang mengingatkan pada karakter Power Rangers, langsung memancarkan aura era 1950-an: rambut pompadour, jaket kulit, dan jeans yang memantapkan kesan retro. Namun, apakah dia sekadar penjaga nostalgia, atau pembawa sesuatu yang baru dalam lanskap musik kesetempatan?
Lagu “Nina” yang baru saja dirilis menjadi perkenalan awal saya dengan dunia musikal Ranger Hijaw. Dalam hitungan detik, dentuman contrabass berpadu dengan drum dan gitar yang mengayun membawa pendengar ke lantai dansa berlampu neon. Tidak hanya itu, trumpet yang melengking menyuntikkan rasa swing yang khas, menciptakan lapisan energi yang membuat kepala ingin mengangguk mengikuti irama. Namun di balik keceriaan itu, ada nada gelap yang mengintip, memberikan nuansa yang kontras dengan musiknya.
Lirik “Nina” berbicara tentang kebimbangan, ketergantungan, dan pesona yang membingungkan. Sosok Nina, sebagaimana digambarkan, adalah paradoks: dia memikat sekaligus membawa risiko. “Rasa ingin mendatangimu, terbius didekap delusi,” salah satu baris yang mengungkap hubungan rumit antara kenyataan dan khayalan. Nina tampaknya bukan sekadar karakter, tetapi lebih seperti simbol—pelarian, kerinduan, atau bahkan ketakutan tersembunyi yang tidak mudah diartikan.
Namun, ada titik lemah dalam konstruksi sosok Nina. Ia terasa seperti refleksi stereotipe lama: jika pemilihan kata “Nina” yang di asumsikan sebagai seorang perempuan, ia seolah menjadi pemicu konflik, pelipur lara sementara, atau bahkan godaan yang berbahaya. Frasa seperti, “Nina mempesona, namun menghasut penuh tipu daya,” menggaungkan narasi lama tentang kaum hawa sebagai sumber hasutan yang menimbulkan kehancuran. Meskipun universal, penggambaran ini terasa belum menggali kedalaman yang dapat memberi Nina dimensi yang lebih kompleks.
Di luar liriknya, Ranger Hijaw patut diacungi jempol atas keberaniannya membawa rockabilly ke dalam skena Pulau Lombok yang kerap dikenal dengan musik Reggae pantainya. Dengan menggandeng musisi Lombok seperti Lexa Apprigio dan Robi “Londo,” serta kolaborasi lintas pulau dengan Prapta Sarasta dari Bali, ia menunjukkan bahwa genre global dapat diadaptasi menjadi cerminan kehidupan sehari-hari di tempat asalnya. Dengan cara ini, Ranger Hijaw tidak hanya memperkaya skena musik Lombok tetapi juga menantang asumsi bahwa wilayah ini minim eksplorasi musikal.
Mendengarkan “Nina” adalah pengalaman yang kontradiktif: ritmenya menggugah tubuh untuk bergerak, sementara liriknya mengajak pikiran merenung. Lagu ini mengingatkan kita akan godaan dunia modern, di mana keindahan sering kali menyembunyikan jebakan. Ranger Hijaw menciptakan karya yang melampaui hiburan sederhana dan menyentuh kegelisahan manusia.
Sebagai langkah awal, “Nina” memberikan janji tentang arah yang menjanjikan dalam karier Ranger Hijaw. Tantangan berikutnya adalah memperdalam eksplorasi lirik dan melibatkan dimensi sosial yang lebih luas. Dengan pendekatan yang hati-hati, Ranger Hijaw memiliki potensi untuk meninggalkan warisan musik yang berharga dan menjadi pionir rockabilly yang tidak hanya membawa nostalgia tetapi juga relevansi.