Diskusi INNERSPEAKER Vol. 2: Menggali Citra dan Tantangan Musik Lombok di Era Digital

Pada tanggal 12 Oktober 2024, acara INNERSPEAKER Vol. 2 – Off The Stage berlangsung meriah di Barrent’s Coffee and Creative Space, Mataram. Acara ini menghadirkan diskusi mendalam mengenai tantangan dan peluang yang dihadapi industri musik Lombok, dengan tema sentral “Jati Diri dan Citra Musik Lombok.” Diskusi tersebut diikuti oleh beberapa pembicara berpengaruh dalam dunia musik lokal, seperti Timmy (Manajer The Dare Little Mascara), Yuga Anggana (Konser Lombok), Safan (Event Manager Satuka), dan Dione Darmansyah (Albert In Space), dengan Robbyan Abel sebagai moderator.

Acara ini membahas perubahan besar yang sedang terjadi dalam industri musik Lombok, terutama dengan kehadiran platform digital seperti streaming yang memungkinkan musisi menyebarkan karya mereka lebih luas dan lebih cepat. Timmy menekankan bagaimana platform digital tersebut memudahkan musisi untuk menjangkau audiens di luar daerah, sebuah peluang besar yang tidak tersedia di masa lalu. Sementara itu, Dion menambahkan bahwa pandemi Covid-19 membawa dampak signifikan pada dinamika musik di Lombok. Setelah pandemi, musisi independen mulai memanfaatkan media digital, memungkinkan mereka menciptakan genre-genre baru dan menggelar gigs yang lebih beragam.

Menurut Safan, perkembangan musik lokal di Lombok juga terlihat dari makin luasnya pilihan genre dan talenta musik yang tampil dalam konser-konser. Jika dulu musik lokal hanya terbatas pada beberapa genre saja, kini lebih banyak musisi yang tampil dengan berbagai gaya, mencerminkan keberagaman budaya musik di Lombok. Yuga Anggana menyatakan bahwa industri musik di Lombok berkembang pesat, dengan adanya ruang produksi musik yang lebih baik dan event-event yang semakin terkonsep. Namun, meski ada banyak kemajuan, ia mencatat bahwa Lombok masih kekurangan beberapa elemen penting, seperti kritikus musik dan agen promosi, yang dibutuhkan untuk mendorong profesionalisme lebih lanjut dalam industri ini.

Diskusi ini juga menyentuh tantangan besar yang dihadapi musisi Lombok, yaitu kurangnya apresiasi terhadap karya mereka. Dion menyebut bahwa salah satu faktor yang memengaruhi hal ini adalah kurangnya promosi diri dari para musisi. Tidak adanya strategi direct selling yang masif, serta minimnya aktivitas di media sosial, turut memengaruhi jumlah pendengar mereka di platform seperti Spotify. Timmy menegaskan bahwa apresiasi dapat diciptakan melalui strategi yang tepat. Pasar bisa dibangun dengan memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk berkomunikasi dengan audiens dan mengubah mereka menjadi loyal market.

Yuga Anggana menambahkan bahwa apresiasi terhadap karya musisi tergantung pada tujuan musisi itu sendiri. Jika musisi hanya ingin diapresiasi oleh komunitas kecil, itu sudah cukup, tetapi jika tujuannya lebih besar, diperlukan manajemen yang baik dan strategi promosi yang tepat. Menurutnya, apresiasi juga erat kaitannya dengan apakah karya tersebut mengikuti tren pasar atau justru menawarkan keunikan yang menarik minat konsumen.

Dalam membahas sistem kurasi talent di event musik, Safan menekankan pentingnya komunikasi antara musisi lokal dan penyelenggara acara. Kurasi talent harus berdasarkan jenis acara yang diselenggarakan, sehingga musisi yang dipilih sesuai dengan konsep dan tidak terjadi ketidakcocokan antara genre musik dan audiens. Yuga Anggana menambahkan bahwa kurasi yang tepat sangat penting agar tidak ada kesalahan dalam menempatkan musisi di panggung yang salah. Misalnya, musisi dengan genre musik intim seharusnya tidak ditempatkan di panggung besar bersama band rock, yang akan merusak suasana. Ia juga mengingatkan bahwa penyelenggara event harus lebih memperhatikan hak ekonomi musisi, terutama dalam hal pembayaran royalti untuk lagu-lagu cover yang dibawakan oleh para musisi di acara mereka.

Diskusi mengenai identitas musik Lombok turut menjadi sorotan. Timmy menyebut bahwa reggae sering dianggap sebagai identitas musik Lombok karena pengaruh Sama-Sama Bar di Gili Trawangan yang menjadi pusat musik reggae di Lombok. Namun, ia juga menceritakan pengalaman band The Dare, yang meskipun berasal dari Lombok, sering dianggap memiliki “Jakarta sound” oleh pendengar luar. Untuk mengatasi stereotip bahwa musik Lombok harus reggae, The Dare membawa identitas musik “Tropical sound” sebagai usaha membentuk karakter yang unik.

Yuga Anggana melihat bahwa identitas musik Lombok masih dalam proses pembentukan. Meskipun musik tradisional dan reggae sangat populer, belum ada identitas tunggal yang benar-benar mendefinisikan musik Lombok. Identitas tersebut, menurutnya, masih terus berkembang dan belum dapat diklaim oleh satu genre atau gaya tertentu.

Kolaborasi dalam industri musik menjadi salah satu faktor penting yang disepakati oleh semua pembicara. Timmy menegaskan bahwa kolaborasi tidak harus berarti keterlibatan secara langsung dalam proyek yang sama, melainkan cukup dengan memberikan dukungan satu sama lain, misalnya dengan membantu mempromosikan proyek yang dilakukan oleh pelaku industri musik lainnya. Yuga Anggana sepakat bahwa dukungan semacam ini penting untuk memperkuat ekosistem musik di Lombok.

Dalam sesi tanya jawab, para narasumber sepakat bahwa pembentukan citra dan jati diri musik Lombok adalah tanggung jawab bersama semua pihak yang terlibat dalam industri musik. Yuga Anggana menambahkan bahwa jati diri Lombok bisa dilihat dari keterbukaan masyarakatnya terhadap budaya luar, serta toleransi dan keramah-tamahan yang melekat pada masyarakat Lombok.

Acara ini juga membahas kegagalan beberapa event musik di Lombok, seperti Memofest, yang disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perizinan dan dukungan venue. Yuga Anggana menegaskan bahwa kegagalan tersebut harus dijadikan pelajaran, dan sebaiknya pelaku industri lebih fokus pada penyelesaian masalah daripada memperpanjang isu negatif yang bisa merusak citra industri musik Lombok.

Dengan topik yang relevan dan pembahasan yang mendalam, INNERSPEAKER Vol. 2 menjadi wadah inspiratif bagi pelaku industri musik di Lombok. Acara ini tidak hanya mengupas tantangan yang dihadapi musisi lokal, tetapi juga memberikan pandangan tentang pentingnya strategi promosi yang tepat, kolaborasi, dan pengembangan identitas musik yang kuat. Semua ini diharapkan dapat membantu industri musik Lombok berkembang menjadi lebih profesional dan berkelanjutan di masa depan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top