Mataram — BeatRiff, sebuah kolektif muda pengarsip dan penikmat musik lokal, menggelar diskusi publik bertajuk “Ref-Rain” pada Minggu malam, 6 April 2025 di Segara Space, Kota Mataram. Mengangkat tema “Melacak Industri Musik di Mataram Periode 1980–1990”, acara ini menghadirkan dua sosok sentral dalam dinamika musik lokal era tersebut: Bambang Kusyanto dan Oon PeHa, dengan moderator Pamela Paganini.
Acara yang dihadiri berbagai kalangan dari komunitas seni dan akademisi ini bukan sekadar nostalgia, melainkan upaya serius menelusuri ulang benang merah perjalanan musik di Kota Mataram yang selama ini belum banyak terdokumentasikan secara sistematis.

Gitar Sederhana, Panggung yang Mengubah Hidup
Bambang Kusyanto mengenang masa kecilnya yang akrab dengan dunia musik berkat sang ayah, musisi keroncong. Berbekal gitar seadanya dan kaset pita, ia mulai tampil di acara sekolah hingga kemudian meniti karier sebagai musisi panggung dan pelaku produksi pertunjukan. Kisahnya menggambarkan bagaimana keterbatasan bukan halangan untuk tumbuh dalam ekosistem musik yang organik dan hidup.
“Saya mulai dari minjam gitar dan modif speaker radio. Waktu itu, yang penting bisa main, bisa tampil,” ungkapnya.
Pelita Harapan: Musik untuk Pendidikan dan Pemberdayaan
Oon PeHa menyampaikan kisah inspiratif tentang Al Mahsyar, ayahnya yang tunanetra, sekaligus pendiri grup musik Pelita Harapan. Musik bukan hanya menjadi sarana ekspresi, tapi juga strategi pendidikan dan pemberdayaan. Grup ini rutin tampil hingga ratusan kali dalam setahun, menyapa desa-desa dengan lagu-lagu seperti “Salam” dan “Ina”.
“Bapak keliling mencari anak-anak tunanetra dan mengajak mereka belajar musik. Dari situ, musik jadi cara untuk hidup bersama dan bertahan,” jelas Oon.
Dari Diskusi ke Dokumentasi
RefRain merupakan bagian dari seri diskusi empat edisi yang dirancang oleh BeatRiff. Setiap edisi membedah satu dekade perkembangan musik di Mataram, mulai dari tahun 1980 hingga 2020. Seluruh catatan dan hasil diskusi ini akan dihimpun dan disusun menjadi sebuah buku sejarah musik lokal.
Raihan Firdiansyah yang akrab disapa Didi Tangan Kiri, salah satu penggagas BeatRiff, menyebut bahwa proyek ini lahir dari kegelisahan atas minimnya dokumentasi sejarah musik lokal. “Kami ingin menghadirkan ruang bagi cerita-cerita musik yang selama ini hanya hidup di ingatan individu,” ujarnya.
Program ini menghadirkan para pelaku sejarah musik—musisi, manajer, pengamat, hingga praktisi industri—dengan tujuan menelusuri arsip kolektif yang selama ini terserak dan belum terdokumentasikan secara utuh. Tahun ini, Ref-Rain akan menggelar empat rangkaian diskusi tematik, masing-masing mengupas satu dekade perjalanan musik Lombok, khususnya di Kota Mataram.
Acara malam itu ditutup dengan dialog terbuka yang berlangsung hangat dan akrab. Tanpa panggung tinggi, para hadirin duduk lesehan, saling berbagi cerita, dan menyusun ulang potongan-potongan sejarah yang nyaris hilang. RefRain bukan sekadar forum diskusi, melainkan sebuah upaya kolektif untuk menjahit ulang ingatan musikal sebuah kota.