Cukup terhenyak juga ketika beberapa hari lalu di beranda muncul pernyataan video permintaan maaf dari Sukatani, band new wave punk asal Purbalingga, kepada Kapolri terkait lagu mereka yang berjudul Bayar, Bayar, Bayar. Menarik perhatian, sebab belum pernah terjadi dalam sejarah seniman meminta maaf atas karya yang diciptakannya sendiri. Sebuah karya, ketika sudah sampai di ruang publik, sudah tentu menjadi milik publik. Publik yang berhak menghakimi. Persoalan muatan di dalam karya seni adalah bagian dari kebebasan siapa pun untuk mengekspresikan pikirannya. Catat: tidak pernah ada kritik dalam sebuah karya seni. Karya seni adalah perwujudan pikiran dan gagasan. Kritik hanya ada di ruang logika, sementara seni berada di ruang estetik. Kritik dilakukan untuk mengevaluasi dan menganalisis sebuah ide, karya, atau kebijakan dengan argumen-argumen logis. Seni tidak bekerja dengan cara itu. Jadi, kritik apa yang dilakukan Sukatani?

foto: Kumparan.com
Kalaupun tetap berkeras bahwa karya band Sukatani itu adalah sebuah kritik, maka cara menjawab kritik bukanlah dengan pembungkaman. Kritik semestinya dijawab dengan mengevaluasi kritik tersebut secara terbuka, transparan, dan profesional sebagai bahan dalam perumusan program-program secara nyata. Apalagi, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam sebuah kesempatan pernah menyatakan bahwa siapa yang mengkritik Polri paling pedas maka akan menjadi sahabatnya. Pernyataan beliau adalah sinyalemen yang menunjukkan komitmen serius Polri dalam upaya memperbaiki citra institusi. Sebuah pernyataan yang sejujurnya hanya bisa keluar dari orang sekelas Jenderal Hoegeng.
Agak sulit memahami bahwa Sukatani menayangkan video permintaan maaf itu tanpa ada tekanan, meski Alectroguy (Muhammad Syifa Al Lufti) dan Twister Angel (Novi Citra Indriyati) menyatakan bahwa pernyataan itu dibuat tanpa ada paksaan dari pihak mana pun serta dibuat dalam keadaan sadar dan sukarela. Dalam video itu tidak dijelaskan alasan mengapa lagu Bayar, Bayar, Bayar mereka take down. Drama di balik itu memang terlalu senyap. Publik tidak mendapatkan penjelasan apa-apa tentang alasan mereka melakukan itu. Lagu itu cukup viral (dan semakin viral setelah polemik ini), punya potensi kapital yang besar, dan bisa menjadi anak tangga karier yang lebar. Lalu kenapa? Satu-satunya petunjuk adalah kata “maaf” dari mereka. Sebuah kata yang bisa dilanjutkan dengan pertanyaan, “Maaf atas kesalahan apa?” Lebih jauh lagi dengan pertanyaan, “Kesalahan dengan konsekuensi seberat apa?” Sampai-sampai mereka harus merelakan untuk membuka hal yang selama ini mereka jaga, yaitu identitas asli mereka. Bahkan Novi, sang vokalis, dipecat dari tempatnya mengajar di sebuah SD IT begitu karya mereka menjadi masalah (walaupun menurut kepala sekolahnya bukan terkait masalah itu). Sukatani sampai mengamputasi idealismenya dengan menyerah kalah pada sesuatu yang mereka sendiri katakan bukan tekanan.

foto dari Suaramerdeka Banyumas
Bola liar akhirnya mengarah ke kepolisian yang menjadi sasaran pandangan publik atas persoalan ini. Tanggapan, dukungan, dan tagar #KamiBersamaSukatani menggema di media sosial, bahkan menjadi sorotan media internasional. Awalnya, persoalan ini ditanggapi oleh Karo Humas Polda Jateng, lalu Karopenmas Divisi Humas Polri, dan tak cukup, Kapolri sendiri turun tangan memberikan tanggapan yang sejalan dengan pernyataannya soal kritik: menawarkan Sukatani menjadi duta kritik Polri. Dengan cepat, titik balik didapatkan oleh Sukatani. Mereka diizinkan melakukan konser lagi, termasuk membawakan lagu Bayar, Bayar, Bayar. Novi ditawarkan mengabdi menjadi guru oleh Bupati Purbalingga, hingga yang kita tunggu: reupload lagu Bayar, Bayar, Bayar.
Respons kepolisian bagi saya sangat melegakan, mengingat trauma atas kontrol penuh kesenian di era Orde Baru masih cukup melekat. Kita ingat bahwa gagasan seni yang berseberangan dengan pandangan pemerintah bisa menjadi soal besar. Bagaimana sebuah lagu tradisional suku Osing di Banyuwangi berjudul Genjer-genjer bisa disematkan sebagai seni representasi kaum komunis hanya karena pemerintah membutuhkannya. Bagaimana tur 100 kota Iwan Fals tahun 1989 dibatalkan izinnya karena lagu-lagunya dianggap sarat kritik terhadap pemerintah. Dan yang masih menjadi misteri adalah hilangnya Wiji Thukul, seorang penyair sekaligus aktivis yang kerap melakukan perlawanan terhadap kebijakan Orde Baru. Cerita suram itu sudah lama tidak terdengar, hingga muncul sesuatu yang dipersoalkan atas karya Sukatani ini.
Tawaran Kapolri kepada Sukatani sebagai duta kritik saya pikir adalah tawaran yang serius, sebab polisi memang butuh lebih banyak instrumen untuk memperbaiki citranya. Terlalu banyak cerita miring soal polisi di ingatan masyarakat. Indeks kepercayaan publik terhadap polisi dari hasil survei terbaru LSI juga menempatkan Polri berada di peringkat paling bawah dibandingkan lembaga penegak hukum lainnya. Padahal, polisi tak kekurangan personel yang memiliki integritas sosial tinggi. Ada yang membina ODGJ, ada yang membuka pesantren, ada yang memiliki panti asuhan. Kawan saya, seorang anggota Polri di Mataram, juga memilih menjadi pembina komunitas tunarungu. Semua aktivitas di atas dilakukan dengan biaya mereka sendiri, menyisihkan sebagian gaji mereka. Namun, kisah-kisah patriotik anggota Polri itu nampaknya masih butuh dorongan lain untuk meningkatkan citra Polri. Atas dasar itu, tawaran Kapolri layak untuk dipertimbangkan selama tidak ada intervensi dalam proses kreatif. Lebih dari itu, ini bisa menjadi semacam babak baru dalam hubungan antara seniman dan kepolisian yang bisa berdampak pada urusan-urusan kesenian dengan kepolisian: izin konser dipermudah, pengamanan konser lebih responsif, dan keterlambatan waktu pertunjukan tanpa Bayar, Bayar, Bayar!.
jelas dan jadi paham ; maklum telat mengikuti berita ini.
tapi yg paling penting, itu redaksi terakhir… “babak baru dalam hubungan antara seniman dan kepolisian yang bisa berdampak pada urusan-urusan kesenian dengan kepolisian: izin konser dipermudah, pengamanan konser lebih responsif..”
semoga
untuk paragraf terahir sy rasa tidak perlu sukatani untuk jadi DUTA POLRI (dr sudut pandang sy). kekecewaan kepada institusi tsb sudah terlalu mendarah daging, lebih2 di area akar rumput dimana sukatani sendiri memulai bermusik. terlalu naif untuk mereka bila setuju menjadi duta polri, mengingat semua lagu2 yg mereka ciptakan tidak sedikit tentang perlawanan dan kekecewaan kepada pemerintahan dan institusi tsb. ibaratnya seperti nyuruh the sex pistols untuk jadi duta kerajaan inggris. hehehe. eniwey, tulisannya bagus…