Sama halnya dengan kekeliruan pemahaman umum tentang musik indie, hip-hop sesungguhnya juga bukan genre musik. Hip-hop adalah gerakan kebudayaan yang lahir di Bronx, sebuah kawasan paling kumuh di New York, dikembangkan oleh kalangan Afro-Amerika dan Latino di tengah kehidupan yang penuh tekanan sosial dan ekonomi. Tapi bukan berarti hip-hop sepenuhnya asli Amerika. Awalnya, ia berkembang dari tradisi toasting di Jamaika, di mana DJ akan berbicara atau menyanyikan lirik di atas beat reggae atau dub, hingga akhirnya para imigran membawanya ke Amerika. Adalah seorang DJ Cool Herc yang menggunakan dua turntable untuk memutar ulang bagian instrumental dari lagu funk dan soul yang disebut breaks. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal musik rap.
Namun, rap hanyalah salah satu elemen dalam hip-hop yang kemudian memang menjadi elemen utama dalam cultural movement ini. Sebuah bentuk musik di mana penyampaian lagunya menggunakan rima, flow, dan ritme di atas beat. Di luar rap, ada bentuk kebudayaan lain seperti DJ-ing, breakdancing, graffiti, dan beatbox.
Tahun 1980-an adalah masa di mana rap mulai berkembang secara industri dengan hadirnya artis seperti Run-D.M.C., LL Cool J, dan Public Enemy. Tetapi rap naik ke level lebih tinggi sebagai sebuah showbiz saat munculnya MC Hammer dengan album Please Hammer Don’t Hurt ‘Em (1990) yang terjual hingga 18 juta kopi. Kesuksesan MC Hammer membawa rap ke arus utama industri musik, berkat komprominya terhadap musik pop (yang juga membuatnya banyak dikritik), serta kepeloporannya dalam menggabungkan rap dengan elemen tari dan hiburan panggung yang spektakuler. Gaya fesyennya yang ikonik, terutama celana parachute pants, juga menjadi simbol budaya era itu. Ia seorang avant-garde.
Kesuksesan MC Hammer seolah mengidentikkan rap dengan dirinya, sehingga tak heran banyak rapper lainnya yang memakai nama “MC” di depannya, seperti MC Lyte, MC Shan, MC Breed, MC Ren, MC Jin, MC Solaar, dan MC Chris. MC Hammer muak dengan itu dan mengganti nama panggungnya menjadi “Hammer” saja. Nyatanya, dari sekian banyak artis rap yang memakai nama “MC” di depan nama panggungnya, tidak ada yang sesukses para rapper yang menjadi penantang Hammer berikutnya, seperti Vanilla Ice, Kris Kross, Snow, hingga era baru rap dengan lahirnya seorang virtuoso bernama Eminem.

gambar: Afrotech.com
Eminem menghadirkan musik yang suram, teknik flow yang rumit, permainan kata dan punchline yang tajam, storytelling yang kuat, serta umpatan-umpatan yang sarkastis dan vulgar. Tetapi dengan formula itu, ia menjadi rapper dengan karakter paling kuat dan meraih sukses komersial terbesar. Album The Marshall Mathers LP (2000) terjual 25 juta kopi, sementara The Eminem Show (2002) terjual 27 juta kopi. Rap sukses kembali ke bentuk aslinya: refleksi atas kegetiran sosial yang disampaikan melalui umpatan-umpatan dalam beat dan flow.
Musik rap juga berjasa dalam melahirkan sebuah akulturasi genre baru. Beberapa musisi mencoba mengawinkan rap dengan musik mereka, seperti Aerosmith dalam lagu Walk This Way, Extreme dalam lagu When I’m President, serta Supergroove dalam lagu Can’t Get Enough dan You Gotta Know. Namun, itu hanya eksperimen kecil untuk memperkaya warna musik dalam album mereka tanpa mengubah keseluruhan komposisi lagu-lagu mereka dalam satu album.
Konstruksi yang benar-benar menghasilkan warna baru dengan mengombinasikan metal dan rap mulai dilakukan oleh Anthrax dan Suicidal Tendencies, kemudian dilanjutkan dengan punk rap ala Beastie Boys, serta rap metal (bisa jadi istilah ini tidak sepenuhnya tepat mengingat musik mereka sangat eksperimental) ala Rage Against The Machine. Selanjutnya lahir genre yang lebih mapan, yang sering disebut hip metal atau nu metal, yang dibawakan oleh Korn, Limp Bizkit, Linkin Park, Slipknot, Kid Rock, dan lainnya. Di sini, pergeseran makna rap mulai terjadi, dari yang awalnya sebagai ekspresi kritis terhadap persoalan hidup, menjadi lebih kepada cara memperjuangkan eksistensi dan gaya hidup.
Saya tidak banyak menyinggung arus utama rap di tanah air. Album-album Iwa K memang sempat menjadi pemicu lahirnya skena dan ekosistem rap, seperti kompilasi album Pesta Rap, hip-hop Jawa, dan lainnya. Namun, saya belum menemukan standar musik rap di Indonesia sebagaimana yang saya dapatkan dari musisi-musisi rap dunia. Tema yang receh, flow yang terlalu sederhana, hingga aksi panggung yang membosankan—itulah stereotip yang tertanam di otak saya tentang musik rap Indonesia. Barangkali saya kurang mendapatkan referensi tentang musisi rap Indonesia lainnya. Dan benar saja, tanpa perlu jauh-jauh, saya menemukan sebuah entitas hip-hop yang berbakat dalam bernyanyi rap. Saya menemukannya pada sebuah komunitas bernama Lombok Hip-Hop. Dari mereka, saya menemukan antitesis terhadap persepsi saya tentang musisi rap tanah air. Ternyata, musik rap juga bisa keren dan bermutu.

gambar: musica.id
Lombok Hip Hop
Pentas mereka pada 11 Februari 2025 malam di Warjack Taman Budaya NTB menampilkan banyak rapper, di antaranya: Rudiksii, Eggie Ross, Say Le Yo, dan G Thunder. Jelas saja itu nama panggung. Mungkin nama asli mereka Husnan, Rusli, Hamdi, atau siapa, saya tidak terlalu peduli. Dalam konteks sebagai pengkarya, nama panggung lebih sahih untuk disematkan sebagai rahim yang melahirkan karya. Karya itu terkoneksi dengan identitas, identitas dalam jangka tertentu terkoneksi dengan eksistensi. Begitu kira-kira. Yang pasti, malam itu saya cukup terpukau dengan penampilan mereka dalam menghadirkan flow yang rumit, tempo yang cepat, serta daya ingat terhadap lirik yang panjang. Saya tidak tahu trik apa yang mereka gunakan saat ada kesalahan atau blank sepersekian detik. Tentu butuh kecerdasan dalam melakukan improvisasi panggung. Mereka memberikan lebih dari ekspektasi saya—yang selama ini mengimajinasikan rap Indonesia bersandar pada referensi rapper-rapper nasional yang lebih dulu populer.
Kurang lebih ada 10 penampil malam itu—jumlah yang juga tidak saya sangka. Karena mereka tampil sebagai sebuah komunitas, saya tidak bisa memberikan penilaian terhadap masing-masing penampil. Namun, secara keseluruhan mereka memiliki teknik yang sangat mumpuni, percaya diri, slengean sebagaimana mestinya seorang rapper, dan lebih dari itu, mereka juga menciptakan serta mengembangkan sendiri komposisi musik mereka. Tentu saja ada beberapa catatan—tapi minor saja. Komunikasi dengan audiens kurang mengalir, lebih banyak berbicara dengan sesama komunitas ketimbang ke penonton, serta joke yang membuat penonton bertanya, “Maksudnya apa?”. Namun, seperti yang diungkapkan salah satu performer, mereka tidak peduli dengan pendapat orang lain. Rasanya mereka harus diingatkan lagi bahwa yang mengapresiasi karya mereka adalah penonton. Dalam sebuah pertunjukan, penghormatan terhadap penonton adalah standar etika tertinggi yang harus dijaga.

foto: Ibar Daiwani
Saya sangat berharap Lombok Hip-Hop akan terus berkembang. Salah satu yang saya harapkan adalah memperkaya unsur instrumen musik pendukung. Saya ingin melihat lebih banyak variasi, mungkin dengan memasukkan instrumen asli seperti gitar atau sound techno dari keyboard atau synthesizer. Ini bisa membuat musik mereka lebih segar, variatif, dan kaya. Bukan hanya di dapur rekaman, tetapi juga di atas panggung. Interaksi antar personel di atas panggung bisa menjadi gimmick sekaligus pesan verbal yang memperkuat kesan karya mereka di mata audiens. Musik adalah komunikasi universal. Dan keberhasilan komunikasi di atas panggung adalah ketika penonton memberikan respons sesuai harapan sang artis.
Ulasan yang mencerahkan.
Menarik mas Ari tidak menyebutkan Denada, sebagai salah satu pengkarya setelah ‘generasi’ Iwa K.
Atau mungkin sengaja dikhususkan ke artikel rapper perempuan? ^^
Just curious..
Salam pagi dari Teluk Dalem, KLU
Do’a saya pada Nispu sya’ban ini semoga industri musik di Lombok entah apapun genrenya semakin di lihat di dengar dan di rasakan oleh Ummat manusia 🙌