Sound of Magic Island, Pulau Santai Milik Apip Sutardi

Gaya hidup kalian fast-paced atau slow living?

Di era yang serba cepat ini, sepertinya saya kerap ditarik pada jalur fast-paced, di mana kecepatan dan kuantitas lebih diutamakan dalam segala aktivitas. Padahal, sebagai generasi milenial, dulu saya lebih senang hidup dengan slow living—bergerak lebih santai tapi tetap produktif, bahkan cenderung kreatif. Saking sering malas, saya malah kerap mencari jalan pintas agar bisa menyelesaikan sesuatu dengan lebih mudah tanpa mengorbankan kualitas. Entah mana yang benar, apakah saat muda sebaiknya fast-paced dan menjelang tua beralih ke slow living? Entahlah. Tapi saya merasa justru terbalik. Dulu, saat teknologi belum secanggih sekarang, hidup saya berjalan santai. Sekarang, seiring bertambahnya usia, saya malah diseret oleh perkembangan zaman dan terbawa dalam ritme yang serba cepat.

Di Lombok saya mengenal Apip Sutardi, seseorang yang, menurut saya, menjalani gaya hidup slow living—mengalir begitu saja tanpa beban yang berarti, tetapi tetap kreatif dalam menciptakan berbagai hal dari gagasan-gagasannya. Ia bisa tiba-tiba membuat vlog, podcast, atau bahkan menggelar pentas musik dan berbagai kejutan kreatif lainnya. Selain itu, beberapa orang sering menemui Apip bersama keluarganya di pantai—santai di tepi laut tampaknya menjadi bagian dari rutinitas hidupnya. Profesi keseharian kami berbeda, tetapi kami memiliki kesamaan dalam hobi: bermusik.

Tampilan Trads, Musik Jamaican

Suatu hari, ia mengirim pesan, “Kapan ada waktu kita ngopi sambil dengerin lagu-lagu terbaru saya?”. Pesan itu disertai tautan video promo albumnya yang bernuansa warna merah, kuning, dan hijau, bertajuk Sound of Magic Island. “Reggae? Menarik!” gumam saya.

Beberapa hari kemudian, saya mendatangi rumahnya. “Orang tua ini ada saja ulahnya,” canda saya saat melihat Apip keluar rumah dengan membawa speaker kecil. Berkepala plontos dan bertubuh tinggi besar, penampilannya sekilas mengingatkan saya pada para Trads, penganut subkultur Skinhead. “Denger dulu, nanti baru ngobrol,” katanya, memaksa saya untuk menyimak seluruh lagu dalam albumnya. Saya pun mendengarkan dengan serius, memperhatikan alunan musik serta lirik-lirik yang dinyanyikannya, sembari menghitung jumlah lagu yang ia rilis.

Apip Sutardi

“Gimana menurutmu lagunya? Lumayan kan untuk seseorang di usia paruh baya?” tanyanya terkekeh setelah semua lagu selesai diputar. Pertanyaan itu membuat saya tersadar bahwa Apip kini telah memasuki usia yang matang dan telah lama berkelana di dunia musik, berpindah-pindah dari satu genre ke genre lainnya. Saya mengenalnya sebagai vokalis Long Trip, sebuah band yang kerap berpentas dari satu kota ke kota lain di bar dan klub malam, membawakan lagu-lagu Top 40 serta musik populer pada masanya. Pada tahun 2001, Apip singgah di Lombok dan akhirnya memutuskan untuk menetap di Pulau Seribu Masjid ini hingga kini. Selain sebagai musisi, ia juga seorang pejuang kemanusiaan. Bersama istrinya, ia mengelola Lombok Care, sebuah organisasi nonpemerintah (NGO) yang memperjuangkan kehidupan para penyandang disabilitas dan inklusi di Indonesia, terutama di Lombok.

Ada banyak hal di diri Apip yang bagi saya terasa kontradiktif. Fisiknya yang kekar, berkepala botak, seorang vokalis band Top 40 namun hatinya lembut: menjadi relawan kemanusiaan, menciptakan lagu-lagu anak. Bahkan sebelumnya, Apip kerap merilis lagu bergenre pop religi. Pada tahun 2020, ia juga dikenal dengan nama Om Apip, pencipta lagu anak dengan albumnya bertajuk Anak Nelayan. Saya sempat mengira bahwa proyek musik selanjutnya akan kembali berisi lagu anak atau pop religi. Namun, lahirnya delapan lagu bernuansa Jamaican dalam album ini menjadi kejutan. Hal itulah yang saya maksud menarik dari Apip.

“Sound of Magic Island ini nama proyek solo saya. Saya sengaja nggak pakai nama sendiri, jadi saya kasih nama Sound of Magic Island, biar kayak nama band. Personel pengiringnya bisa siapa saja, tapi penyanyinya tetap saya,” tegasnya. Saya langsung memahami konsep ini, mengingat di Lombok hingga saat ini masih sulit menemukan kawan bermusik yang satu frekuensi dan bisa berkomitmen membangun sebuah band yang bertahan lama.

artwork album Welcome to Magic Island dari Sound of Magical Island

Selamat Datang Di Pulau Ajaib

Album Welcome to Magic Island berisi delapan lagu: (1) Welcome to Magic Island, (2) Rigi Holiday, (3) Gadis Idaman, (4) Bulan Purnama, (5) Loving You, (6) Where Is the Love, (7) Para Pejuang, dan (8) Senjaku. Judul album ini diambil dari salah satu lagunya, yang juga merupakan lagu pertama yang digarap untuk album ini.

Ada sesuatu yang magis dalam album Welcome to Magic Island. Dari awal hingga akhir, delapan lagu ini terasa seperti perjalanan musikal yang membawa pendengar ke berbagai nuansa. Mendengarkan album ini seperti menyelami kehidupan Apip Sutardi—sebuah arsip ingatan sejak ia datang ke Lombok, menjelajahi pulau ini, hingga menjadi pejuang kemanusiaan. Diksi yang dipilihnya dalam lirik lagu adalah kepingan ingatannya tentang Lombok. Misalnya, lagu Welcome to Magic Island jelas menceritakan perjalanannya di Lombok:

Ketika kumenginjakkan kaki di sini
Di Pulau Lombok untuk pertama kali
Di Senggigi ku mulai beradaptasi
Menikmati pantai yang indah sekali

Di lagu lainnya, Rigi Holiday, Apip menggunakan diksi seperti “pohon kelapa”, “pasir putih”, “kicauan burung”, dan “deburan ombak” untuk merepresentasikan kecintaannya pada pantai-pantai di Lombok. Pengulangan kata “Rigi” dalam lagu ini menjadi hook yang sepertinya sengaja dibuat untuk menciptakan kesan adiktif bagi pendengar.

Sebagai seorang pejuang kemanusiaan, Apip juga menyuguhkan lagu yang ia dedikasikan untuk para relawan melalui lagu Para Pejuang:

Kau korbankan semua waktumu
Untuk membantu sesama
Kau tinggalkan zona nyaman dalam hidupmu
Untuk bersamanya

Lagu ini terasa seperti anthem bagi mereka yang selalu memberi tanpa pamrih, para relawan kemanusiaan. Di nomor lainnya, Sound of Magic Island mengangkat topik-topik keseharian, termasuk cinta kasih sebagai topik yang universal.

Secara keseluruhan, Sound of Magic Island berhasil mengemas elemen musikal yang sederhana namun efektif menjadi cerita utuh. Album Wellcome to Magic Island ini adalah perpaduan antara jiwa reggae yang santai, storytelling yang kuat, dan sensibilitas pop yang cerdas. Sebenarnya bagi saya album ini tidak cocok hanya disebut sebagai album reggae, justru lebih luas dari itu. Album ini menawarkan lagu-lagu bergenre Jamaican: Ska, Rock Steady, dan Reggae.

Proses Menantang

Apip mengaku bahwa proses rekaman album Welcome to Magic Island memakan waktu sekitar delapan bulan. Saat ditanya tentang tantangan yang dihadapinya, jawabannya sudah bisa saya duga: keterbatasan waktu para musisi pengisi, yang sibuk manggung di berbagai kafe di Mataram hingga Gili Trawangan—hal yang umum dialami para musisi di Lombok. Menghadapi kendala ini, Apip menyiasatinya dengan merekam setiap instrumen secara terpisah. Dalam satu hari, bisa jadi hanya drum yang direkam, lalu di hari lain, instrumen lainnya. Alhasil, para pengisi lagu tidak pernah bertemu dalam satu sesi yang sama. Mereka hanya bertemu dengan Apip dan Chilly, operator rekaman, saat mengisi bagian masing-masing. Meski begitu, sebagai orang yang juga mengenali para pemusik yang mengisi lagu-lagu Apip, saya yakin bahwa chemistry mereka tetap terjaga. Latar belakang para musisi pengisi menunjukkan profesionalisme dan pengalaman yang kuat dalam memainkan instrumen mereka. Misalnya, Beby (keyboard) dan Apel (drum) sebelumnya pernah terlibat dalam proyek musik reggae milik Joe Mellow Mood, musisi reggae asal Lombok. Bahkan, hingga kini Beby masih aktif bermain musik Jamaican bersama Amtenar, band reggae paling populer di Lombok. Selain itu, ada Jack (bass) dan Kacip (gitar), dua musisi yang terbiasa memainkan musik multigenre di kafe-kafe sekitar Mataram dan Gili Trawangan.

Apip Si Anak Pantai

Menurut saya, pilihan Apip untuk mengusung genre Jamaican music di usia paruh baya adalah keputusan yang tepat. Dengan gaya hidup slow living, musik Jamaican terasa selaras dengan dirinya. Selain itu, di Indonesia, reggae sering dikaitkan dengan suasana pantai sejak mendiang Imanez—tokoh musik reggae Indonesia—mempopulerkan lagu Anak Pantai dalam balutan genre ini. Kebetulan, Apip lahir dan tumbuh besar di Pangandaran, salah satu pantai terpopuler di Jawa Barat, lalu kini menetap di Lombok, yang juga dikelilingi pantai. Disadari atau tidak, latar belakang Apip membuat pilihannya terhadap Jamaican music, khususnya reggae, terasa semakin masuk akal. Musiknya benar-benar mencerminkan perjalanan dan jati dirinya saat ini.

Wahai para rude boy Lombok! Jika suatu saat kalian menyaksikan penampilan dari Sound of Magic Island, mungkin kalian akan semakin percaya bahwa para Trads – sebutan untuk generasi skinhead – memang memiliki kecintaan pada Jamaican Rude Boy alias Ska, Reggae, dan Rocksteady.

Kalian lebih banyak mendengarkan musik apa? fast tempo atau slow tempo?

1 komentar untuk “Sound of Magic Island, Pulau Santai Milik Apip Sutardi”

  1. Tergantung kondisi hati😅😅 kalau lagi happy ya fast tempo kalau lagi galau ya sebaliknya.😅🤭 Tapi saya rasa harus dengar semua lagu dari album ini selain lagu dan musiknya yg asik, idola saya ada disini juga 😁💕sukses terus untuk kang APIP n friends ( sound of magic island)!! 💃🏻🔥

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top