Warjazz! Menu Baru Di Warjack

Pagi 24 Januari 2025, saya membaca sebuah pesan yang dikirim oleh Kang Ary Juliyant di sebuah grup komunitas seniman Lombok. Ia menginformasikan ada segmen jazz yang diberi titel Warjazz, yang rencananya akan rutin dilaksanakan di Warjack—sebuah kantung gerakan seni di pojokan Taman Budaya NTB. Pesan itu, bagi saya, menjadi semacam oase di tengah padang pasir, mengingat gigs jazz boleh dibilang minoritas di Indonesia, termasuk di Lombok.

Jazz di Indonesia sempat mengalami masa kejayaan pada era 80-an, di mana banyak grup maupun solois bermunculan, terutama di sub-genre fusion. Untuk grup, ada nama-nama seperti Bhaskara, Karimata, Krakatau, Halmahera, Rakata, Modulus, Emerald, dan lainnya. Untuk solois, ada Utha Likumahuwa, Harvey Malaihollo, Rien Jamain, January Christie, Iga Mawarni, Ermy Kullit, Mus Mujiono, dan lainnya. Setelah itu, selera pasar berbelok tajam ke budaya pop Amerika yang dipromosikan melalui berbagai kanal seperti MTV, Grammy, atau berbagai top chart yang lebih banyak mengenalkan lagu-lagu pop, rock, dan sesekali country. Bukan hanya menurunkan pasar rekaman, ekosistem lainnya seperti kafe jazz dan event jazz juga ikut surut.

Di Jakarta, dulu ada kafe jazz bernama Jamz, di Bali ada Jazz n Grill. Di tempat-tempat itu, dimainkan berbagai sub-genre jazz, mulai dari mainstream, swing, standard, hingga fusion. Tapi sebagai musik yang sarat improvisasi, jazz memang tidak bisa langsung dicerna oleh penikmat musik secara kasual. Sebagian orang menyebut kerumitan jazz—yang sebenarnya adalah daya tarik utamanya—sebagai alasan untuk tidak terlalu meminatinya. Karena alasan itu pula, event jazz seperti Jakjazz yang dimotori oleh Ireng Maulana sempat mengalami penurunan peminat.

Uniknya, branding jazz dalam festival-festival besar justru dipakai untuk meningkatkan gengsi event. Java Jazz atau Senggigi Sunset Jazz Festival mendapat atensi tinggi dari penikmat musik, meski line-up-nya banyak yang bukan berasal dari kalangan jazz. Kata “jazz” dalam event-event tersebut terbukti mampu mengangkat prestise sebuah tontonan. Ya, jazz memang memiliki kesan berkelas, intelektual, dan berada pada strata tinggi dalam persepsi publik, meskipun popularitas karya maupun artis jazz masih di bawah musik arus utama. Sebabnya, jazz tidak bisa sembarangan dinyanyikan atau dimainkan. Dibutuhkan musikalitas dan teknik bermusik yang baik, yang sulit dijangkau oleh masyarakat yang jauh dari ekosistem musik maju. Selain itu, ada juga faktor psikologi sosial yang berperan dalam preferensi musik masyarakat. Menikmati jazz berarti menikmati musik secara utuh, tanpa bisa ditunggangi motif lain seperti bergoyang atau bahkan mabuk—dua hal yang sayangnya sering menjadi alasan utama orang menghadiri pertunjukan musik.

Musik jazz tidak pernah mati, tapi juga tidak pernah mendominasi pasar musik. Contoh paling gamblang adalah tahun 1991, yang saya anggap sebagai era kejayaan industri musik rekaman dunia. Di tahun itu, banyak album fenomenal dirilis: Black Album (Metallica), Use Your Illusion I & II (Guns N’ Roses), Everything I Do (Bryan Adams), For Unlawful Carnal Knowledge (Van Halen), Nevermind (Nirvana), Ten (Pearl Jam), Dangerous (Michael Jackson), dan banyak lagi. Namun, meski pasar industri musik meledak di tahun itu, karya-karya musik jazz tidak terlalu terkena dampaknya. Hanya beberapa artis seperti Diana Krall, Sade Adu, Norah Jones, dan Jamie Cullum yang berhasil mencuri perhatian publik di luar penggemar jazz. Di Indonesia, penampilan Diana Krall dan Jamie Cullum termasuk yang mendapat sambutan cukup meriah.

Jazz di Lombok

Kembali ke Lombok. Pada era kejayaan Senggigi sekitar tahun 90-an, banyak kafe bermunculan di wilayah tersebut, beberapa di antaranya memainkan jazz, meski dengan song list yang belum terlalu banyak. Namun, setidaknya playlist dari Level 42 dan Al Jarreau sudah bisa kita dengarkan di era itu. Situasi tersebut cukup maju jika dibandingkan dengan peta musik Lombok yang kala itu masih terasing dibandingkan daerah lain di Indonesia. Untuk musisi yang menghasilkan album jazz pada era itu, saya belum mendapatkan informasi. Baru pada 2008, album Best Thing I Can Do milik saya lahir dengan sebagian besar bernuansa jazz, serta lagu-lagu lain yang terdengar jazzy karena diaransemen oleh Suradipa, seorang maestro jazz Lombok. Setelah itu, Suradipa melahirkan banyak repertoar bernuansa etnik jazz.

Pada rentang 2010–2016, ada beberapa band Lombok yang mencoba melabelkan musik mereka dengan genre jazz, seperti Pallete, Just One, LnB, dan Cupid. Sebagian masih meng-cover lagu artis lain, sementara sebagian sudah menghasilkan karya sendiri. Saat itu, iklim jazz berbasis komunitas cukup berkembang. Ada Kanaq Nge-Jazz, Postmo Sunday Jazz, Jazz and Cassava, dan Jazz Depan Dapur. Berbeda dengan situasi saat ini, di mana platform musik digital menjadi etalase karya yang mudah diakses, komunitas jazz saat itu lebih berorientasi pada apresiasi karya dan pentas-pentas kecil hingga menengah. Interaksi antar-penggemar jazz pun cukup intens.

Namun, banyak faktor yang membuat atmosfer jazz di Lombok surut. Secara internal, kesibukan atau kepergian tokoh-tokoh penggerak menjadi salah satu sebab. Secara eksternal, tahun 2017 fokus masyarakat teralihkan oleh kontestasi politik, disusul gempa 2018 dan pandemi COVID-19 yang berkepanjangan. Beruntung, beberapa musisi menyelamatkan keberlangsungan jazz, seperti grup-grup etnik jazz Bhavana dan Lombok Ethno Fusion. Event jazz yang digagas komunitas lokal mulai muncul kembali, misalnya Jungle Jazz tahun 2023 yang didukung oleh BPPD NTB.

Harapan untuk Warjazz

Kini, hadirnya acara Warjazz akan diuji konsistensinya. Bagi saya, ini adalah wadah dengan dampak besar dalam beberapa hal: ekshibisi karya, edukasi, scale-up, dan tentunya tontonan yang layak, meskipun hadir di tempat sederhana yang sejak 2007 sudah menjadi laboratorium seni bagi seniman lintas bidang. Apresiasi setinggi-tingginya bagi para pegiat jazz yang mendedikasikan waktu, tenaga, dan pengetahuan untuk amal estetika yang, dalam skala luas, melengkapi konstruksi peradaban dan karakter masyarakat. Dari zaman ke zaman, pendekatan seni semacam ini terbukti efektif.

Adanya Warjazz adalah kegembiraan musikal yang patut dipertahankan. Semoga program ini terus berkembang demi kejayaan musik jazz di Lombok. Sukses selalu, Warjazz!

Credit to: Ary Juliyant – Presiden Musik Indie Indonesia, Suradipa – Maestro Jazz Lombok, dan Warjacker.

foto oleh: Yuga Anggana

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top