Selasa, 14 Januari 2025. Malam itu, setelah tampil bersama kelompok musik Yoiakustik di gelaran rutin Pentas Selasa Warjack di Taman Budaya Nusa Tenggara Barat, saya memilih duduk di samping panggung, bersiap menyaksikan penampilan selanjutnya. Tak disangka, giliran berikutnya membawa saya dalam suasana nostalgia, seolah waktu mundur ke era 70-an. Di depan mata, muncul sosok-sosok muda nyentrik dengan rambut gondrong, kumis tebal, kemeja yang dimasukkan rapi ke dalam celana cutbray. “The Labman,” seru pembawa acara memperkenalkan kelompok musik tersebut.
Di panggung yang sederhana, The Labman membuka penampilan dengan intro berdistorsi penuh energi, mengusung sound gitar ala rock klasik berpadu efek flanger. Seisi penonton tersentak, seolah dihanyutkan ke masa lalu. Kejutan tidak berhenti di situ. Sang vokalis, Dagoel, memasuki panggung dengan gestur canggung yang justru mengundang tawa kecil dari penonton. Ia menyapa dalam bahasa Sasak yang kental, menambah kesan hangat dan dekat. “Disuntik” ucapnya lantang, memperkenalkan lagu pertama yang akan mereka bawakan.

foto oleh: The Boleng
Musik mulai menggema, membuyarkan suasana mendung dengan hentakan yang menggetarkan. Dagoel bersama rekan-rekannya berdansa khas rock n’ roll, meliuk ke sana kemari di atas panggung. Di lagu-lagu berikutnya, mereka bahkan menampilkan koreografi mengayun gitar yang mengingatkan saya pada gaya khas Rhoma Irama dan Soneta Grup. Kekompakan dan kelucuan mereka memadukan profesionalisme dan humor, membuat saya tersenyum lebar sepanjang penampilan.
Setelah pertunjukan selesai, saya menyempatkan diri menemui mereka untuk sekadar memberikan pujian. Tak disangka, keramahan mereka membuat obrolan kami berlanjut panjang. The Labman, begitu mereka dikenal, adalah band asal Lombok yang beranggotakan Dagoel (vokal), Ata Hartadi (bass), Bledeh (gitar), dan Azis (drum). Nama mereka ternyata memiliki makna filosofis: “Dunia adalah laboratorium, dan kita sebagai laboran yang terus bereksperimen.” Bagi saya, nama itu mencerminkan semangat mereka untuk terus mengeksplorasi dan menghadirkan sesuatu yang berbeda di tengah gelombang musik modern.
Katanya, sejak dibentuk pada 2021, The Labman telah melalui berbagai fase eksplorasi. Mereka sempat menjajal hardcore sebelum akhirnya menetapkan hati pada musik retro dengan semangat rock 70-an. Pengaruh musisi legendaris Indonesia seperti Rhoma Irama, Duo Kribo, dan God Bless terasa kental dalam karya mereka, tetapi sentuhan lokal khas Lombok tetap bisa saya rasakan dalam penampilan mereka, hal itu pula yang menjadikannya unik dan segar.
Malam itu, The Labman membawakan beberapa lagu orisinal seperti Disuntik, Mimpi, Kesetanan, dan Awe. Lagu Awe berhasil mencuri perhatian saya. Tidak hanya karena aransemen yang kuat, tetapi juga pesan yang terkandung di dalamnya. Lagu ini mengangkat kritik tajam terhadap kekerasan seksual di dunia pendidikan, sebuah isu berat yang jarang disentuh musisi. Di tengah alunan musik yang memikat, liriknya terasa seperti tamparan keras yang menyadarkan.
Kekaguman saya semakin bertambah ketika mengetahui keseharian para personelnya. Dagoel adalah seorang dokter hewan di Mataram, Azis bekerja di Kopang, Lombok Tengah, Bledeh di Lombok Utara, sementara Hartadi masih menyelesaikan kuliah di Universitas Negeri Mataram. Dengan jarak geografis yang memisahkan mereka, menjaga konsistensi bermusik tentu bukan hal mudah. Namun, komitmen mereka terbukti solid, dengan latihan rutin yang terus mereka jalani setiap minggu.
Saat ini, The Labman tengah berada di fase penting: workshop untuk menemukan sound terbaik bagi karya-karya mereka. Dukungan dari Pelita Groove, band retro Lombok yang telah bekerja sama dengan Demajors, memberi semangat baru bagi mereka. Dalam waktu dekat, The Labman dijadwalkan untuk memulai proses rekaman di Madcats Records Studio, menandai langkah besar menuju panggung yang lebih luas.
Malam itu, Pentas Selasa Warjack ditutup dengan kolaborasi antara Angger Lenkara, keyboardist Pelita Groove, dan Jingga, seorang penyanyi muda berbakat yang masih SMA. Mereka membawakan lagu The Beatles, mempertegas bahwa musik retro bukan sekadar nostalgia bagi generasi lama, tetapi juga ruang kreatif yang digemari oleh anak muda.
The Labman adalah bukti nyata bahwa musik tidak hanya menjadi alat hiburan, tetapi juga media untuk menyampaikan cerita, protes, dan refleksi. Dalam semangat rock 70-an yang mereka bawa, ada pesan kuat tentang keberanian menjadi berbeda, tetap setia pada akar, dan menghadirkan sesuatu yang bermakna. Bagi saya, The Labman adalah perwujudan semangat bahwa musik retro akan terus relevan, hidup, dan bersinar di tengah derasnya arus zaman.
