Pada Jumat, 10 Januari 2025, Ranger Hijaw—yang hingga kini masih menjadi satu-satunya musisi yang memainkan musik rockabilly di Pulau Lombok—tiba-tiba mengirimi saya pesan pada pukul 3 dini hari: “Saya rilis single baru nih” tulisnya, disertai tautan streaming lagu terbarunya yang berjudul Tanda Tanya (Unboxing 2020). Tentu saja, di jam segitu saya sudah terlelap dan baru merespons pesannya pada siang hari dengan antusias: “Hasyek! Syeruuuuu!”
Saya merasa senang menerima kabar tentang perilisan karya baru dari Ranger Hijaw. Ini bukan sekadar kesenangan yang dibuat-buat; saya merasa istimewa karena dipercaya untuk mendengarkan karyanya lebih awal. Meski saya yakin Ranger Hijaw juga mempublikasikan perilisan single terbarunya ke khalayak luas, pesan pribadi yang dikirimkannya kepada saya di jam 3 dini hari memberi kesan yang berbeda.
Rasanya, Ranger Hijaw ingin saya mendengarkan lagunya secara khusus. Ia seakan mempercayakan sesuatu kepada saya—mungkin pendapat saya tentang karyanya—dan memunculkan keyakinan dalam diri saya bahwa ia mungkin menantikan tanggapan saya. Kalau tidak, untuk apa dia mengirimkan pesannya secara pribadi, di waktu yang begitu sunyi pula? Membayangkan dia memikirkan nama saya, mencari kontak saya, lalu membagikan lagunya pada jam seperti itu sungguh menggugah saya. Hal tersebut membuat saya merasa terdorong untuk mendengarkan lagunya dengan serius dan sepenuh hati.
Saya sudah cukup lama mengenal Ranger Hijaw, meskipun sebenarnya kami tidak bisa dibilang dekat. Namun, diam-diam saya mengapresiasi apa yang ia lakukan. Ia menjalani hidup dengan sangat mandiri, mengandalkan keahliannya sebagai tukang cukur. Yang menarik, ia punya gagasan kreatif untuk menjawab tantangan profesinya: menggunakan sistem jemput bola sebagai tukang cukur keliling, siap merapikan rambut siapa saja di mana pun berada. Penampilannya yang nyentrik menjadi daya tarik tersendiri, membuat orang mudah mengenali keberadaannya. Namun menurut saya, keunikannya itu bukan sesuatu yang dibuat-buat, melainkan muncul secara alami dari dirinya.
Ranger Hijaw di mata saya adalah pribadi yang unik. Ia terlihat osah (sangat aktif dan tak bisa diam), humoris, mudah beradaptasi, dan mampu menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi di sekitarnya. Maka, ketika ia mendeklarasikan diri sebagai seorang musisi dengan genre musik rockabilly, saya berkata dalam hati, “Pilihan yang tepat!” Genre itu sangat sesuai dengan karakter kesehariannya.
Tak sabar rasanya menantikan karya Ranger Hijaw sejak ia mulai berani membawakan musik rockabilly di beberapa acara. Namun, saya tahu bahwa menemukan rekan bermusik yang sefrekuensi dengannya di Pulau Lombok bukanlah hal yang mudah. Mungkin itulah salah satu tantangan terbesar yang dihadapinya dalam memproduksi karya. Saya tahu ia sempat mengajak beberapa musisi lain untuk membantunya mengisi bagian-bagian tertentu dalam lagunya. Namun, tampaknya pergantian demi pergantian musisi masih terus terjadi secara dinamis.
Hingga suatu hari, saya mendengar kabar burung: “Ranger Hijaw di Bali,” ujar orang-orang membicarakannya. Lagi-lagi, saya bergumam, “Tempat yang cocok!” Saya merasa, di Bali, ia tidak akan sesulit di Lombok untuk menemukan rekan bermusik yang sefrekuensi. Dugaan saya benar. Tak lama berselang, Ranger Hijaw membawa oleh-oleh sebuah lagu berjudul Nina, yang ia rekam bersama Prapta Sarasta, pemusik dari Bali. Saat itu, saya merasa momen yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Saya segera mencari lagu Nina di platform musik digital dan mendengarkannya dengan saksama.
Saking antusiasnya terhadap karya perdana Ranger Hijaw, saya bahkan sempat menulis ulasan kecil tentang lagu tersebut. Mungkin itulah yang membuatnya mengirimi saya karya keduanya, seolah menyiratkan pesan: “Saya ingin lagu ini diulas olehmu.”
Rockabilly yang “Binal”.
Setelah dua hari mencoba mendengarkan Tanda Tanya karya Ranger Hijaw sambil berusaha menyerap setiap nada dan liriknya—yang tidak begitu jelas terdengar—saya mulai mencari referensi tentang rockabilly. Saya membaca beberapa artikel dan kembali mendengarkan lagu itu dengan lebih saksama. Dari lirik yang sekilas saya tangkap, satu kata yang terlintas di benak saya untuk mendeskripsikan Tanda Tanya adalah: ‘rockabinal’. Sebab, liriknya terasa nakal, liar, dan binal:
“Lepas semua helai pakaianmu…
Sudah waktunya kau gerayangi tubuhmu…
Hatiku haus…
Jiwaku kerontang.”
Namun, tentu saja, saya tidak boleh mencerna liriknya sesederhana itu. Apalagi, beberapa jam sebelum menulis ini, saya baru tahu bahwa lirik tersebut katanya memiliki keterkaitan dengan puisi karya Willy Fahmy. Tak heran saya merasa familier dengan istilah Unboxing 2020.
Willy Fahmy adalah seorang pria kelahiran Ciamis, Jawa Barat. Kebetulan, kami berasal dari kabupaten yang sama, meski berbeda kecamatan. Bahkan, setelah pertemuan kami di Jakarta pada 2023, saya mengetahui bahwa kami juga berbagi almamater dan fakultas yang sama di sebuah kampus pendidikan di Bandung.
Mengetahui bahwa lirik lagu Tanda Tanya yang ditulis oleh Ranger Hijaw terilhami dari buku Unboxing 2020 milik Willy, saya merasa memiliki kedekatan tersendiri dengan lirik tersebut. Maka pastilah maknanya tidak sesederhana apa yang terlihat di permukaan. Saya tidak memiliki kemampuan untuk menafsir puisi, untungnya lirik lagu Ranger Hijaw bukanlah puisi, hanya terilhami dari puisi.
Jadi, ketika sebuah puisi berubah menjadi lagu, baik dibacakan maupun dinyanyikan, saya lebih mudah menangkap kesan yang terkandung di dalamnya. Apalagi jika teks tersebut memang diniatkan untuk menjadi lirik lagu. Saya bisa menggunakan pengalaman musikal saya sebagai jembatan untuk memahaminya. Maka, saya mencoba menelaah Tanda Tanya melalui perspektif musikal, meskipun bukan dengan analisis mendalam. Hanya sekadarnya saja, cukup untuk menangkap arah dan kesan yang dapat saya tangkap dengan “jaring-jaring musikal” yang saya miliki.
Ritme yang Merangkai Kegelisahan: Sebuah Analisis Musikal
Saya terus mencoba menyerap makna dan keunikan musikal dari Tanda Tanya milik Ranger Hijaw. Lagu ini menawarkan pengalaman yang kaya, dengan setiap elemen musikalnya menyiratkan perenungan.
Intro dimulai dengan kejutan yang membuat saya hampir salah menebak tonalitasnya. Awalnya, saya kira lagu ini akan dimulai di D minor, tetapi nadanya terus bergerak secara tak terduga, merayap melalui pola kromatik menuju B minor. Pergeseran ini menciptakan rasa dinamis dan misterius, memperkenalkan suasana emosional yang mendalam. Intro terbagi menjadi dua tema utama: tema A yang berupa fill-fill tutti—semua instrumen memainkan pola yang sama—dan tema B yang menonjolkan train beat drum, menghasilkan ritme yang menyerupai laju kereta api. Ritme ini berpadu dengan teknik snap untuk nada dan slap untuk ritme pada kontra bass, sebuah elemen khas rockabilly yang langsung menegaskan identitas musik Ranger Hijaw. Intro ini terasa seperti pernyataan pembuka yang kreatif, menggambarkan sisi osah dari kepribadian sang musisi.
Bagian verse pertama dibuka dengan vokal bernada rendah dan berat, membawa kesan mendalam pada lirik yang penuh pertanyaan heran:
“Kenapa kau begitu jatuh cinta pada kebohongan-kebohongan?
Kenapa kau amat terjinakkan pada dusta-dusta?”
Setelah itu, lagu kembali ke bagian intro, mengulang tema A dan B, memberikan ruang refleksi atas pertanyaan yang dilontarkan sebelumnya. Di bagian ini, saya membayangkan Ranger Hijaw mengerutkan dahinya, menajamkan rasa herannya.
Memasuki verse kedua, vokal Ranger Hijaw terdengar lebih tinggi dengan tekanan emosional yang meningkat. Nada baritonannya kini menguat, mencerminkan ketegangan dan rasa geregetan dalam liriknya:
“Kenapa tawamu begitu dilahap
Oleh mulut-mulut yang tak sabar?
Mencibirmu hidup-hidup,
Buatmu kosong, insomnia, overthinking.”
Setelah verse kedua, lagu kembali ke intro tema A, memberi jeda singkat untuk perenungan sebelum menuju pre-chorus. Bagian pre-chorus memunculkan pola melodi yang catchy dan santai, berbeda dari intensitas verse sebelumnya. Frasa perintah “Lepas semua pakaianmu” disampaikan dengan nada yang lebih bijak, seperti sebuah nasihat, bukan perintah literal. Kesan metaforikal dari lirik ini menjadi lebih jelas dalam konteks musikalnya.
Chorus akhirnya muncul sebagai puncak emosi yang dinantikan. Melodinya kuat, ritmenya menarik, dan frasa liriknya langsung menancap di ingatan:
“Aaaa… hatiku haus, hatiku haus…
Jiwaku kerontang…
Ku lupa tuangkan perhatian.”
Pada bagian ini, permainan kontra bass semakin padat dengan teknik walking bass, memberikan kesan penuh dan dinamis, mengisi setiap ketukan dalam bar. Chorus ini menjadi hook utama yang mempertegas pesan emosional lagu.
Kemudian bridge hadir untuk menghubungkan lagu menuju interlude. Di sini, Ranger Hijaw menunjukkan kreativitasnya dengan progresi akor yang terasa progresif, membawa dinamika yang semakin kaya. Interlude menjadi ruang eksplorasi, mempertahankan satu tema dengan satu akor, tetapi mengembangkan motif melalui instrumen lead gitar, solo kontra bass, dan kejutan berupa terompet yang tiba-tiba muncul sebagai pintu keluar interlude menuju bagian selanjutnya.
Musik kembali ke intro tema A sebagai ruang transit sebelum memasuki pre-chorus yang diulang. Bagian chorus kemudian dipertebal, diulang-ulang selama lebih dari satu menit, menyerukan rasa kekosongan batin:
“Hatiku haus… hatiku haus…
Jiwaku kerontang…”
Outro lagu menyuguhkan sesuatu yang berbeda. Alih-alih mengandalkan tema intro A, Ranger Hijaw memilih tema B sebagai penutup. Namun, tema ini tidak berupa fill tutti, melainkan kembali pada pola train beat drum yang mengalun terus tanpa henti. Lagu berakhir secara mendadak dengan drum yang berhenti tiba-tiba, diikuti oleh lead gitar dan suara kontra bass yang tertinggal. Penutupan ini memberikan kesan unfinished, seolah Ranger Hijaw sengaja meninggalkan ruang kosong yang membiarkan pendengar merenungkan kembali makna lagunya.
Sebuah Renungan Mendalam tentang Identitas dan Ketidakpastian
Dari nada dan melodi yang dibangun dalam lagu Tanda Tanya, jelas bahwa karya ini, baik dari segi musik maupun lirik, menyentuh sesuatu yang jauh lebih kompleks daripada sekadar kesan “rockabinal”. Lagu ini, meski terdengar sangat enerjik, atraktif dan mengajak untuk berdansa ala rock ‘n roll, sebenarnya seperti sedang mengundang pendengar untuk menyelami kegelisahan jiwa seseorang yang bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang identitas. Ia mencari arah, namun justru semakin terseret ke dalam pusaran ketidakpastian yang menggoyahkan.
Penggalan lirik “Kenapa kau begitu jatuh cinta pada kebohongan-kebohongan” disandingkan dengan nada yang mendalam dan introspektif, menggambarkan keterikatan yang rumit pada hal-hal yang tidak sejati. Seolah-olah kebohongan telah menjadi semacam pelarian atau kenyamanan yang sulit dilepaskan, bahkan ketika si aku lirik menyadari betapa rapuhnya fondasi hidup dalam ilusi. Lagu ini menyiratkan bahwa ketakutan untuk menghadapi kebenaran seringkali membuat seseorang lebih memilih untuk tetap berada dalam dunia yang dibangun dari kebohongan, meskipun hal itu hanya mempertebal lapisan luka batin.
Tekanan sosial turut menjadi tema yang mencuat dalam lagu ini. Pada bagian lirik “Mencibirmu hidup-hidup buatmu kosong, insomnia, overthinking”, ada gambaran betapa tajamnya efek penilaian dan penghakiman dari lingkungan sekitar. Ketakutan akan penolakan dan pandangan sinis dari orang lain menggerogoti rasa percaya diri, meninggalkan jejak kehampaan yang terasa begitu nyata. Frasa ini seakan menggambarkan jeritan batin yang terus bergema, sebuah cerminan dari pergulatan emosional yang mungkin tidak selalu tampak di permukaan.
Ajakan “Lepas semua helai pakaianmu” justru disampaikan dengan nada yang tidak bombastis, melainkan lembut dan bijak, mengubah kalimat itu menjadi metafora. Frasa ini melambangkan kebutuhan untuk melepaskan semua topeng, lapisan, dan identitas palsu yang dipakai demi memenuhi ekspektasi orang lain. Di balik ajakan itu tersirat otokritik—sebuah desakan dari dalam untuk menjadi autentik, membebaskan diri dari belenggu penilaian eksternal. Namun, saya tetap merasakan adanya bayang-bayang keraguan dan ketakutan dalam ajakan tersebut; mungkinkah menjadi diri sendiri sepenuhnya tanpa menghadapi konsekuensi yang berat?
Senandung yang berulang pada bagian “Hatiku haus, jiwaku kerontang” menegaskan rasa kekosongan batin yang tak kunjung terisi. Rasa haus ini bukan hanya tentang kebutuhan akan kasih sayang atau validasi dari luar, tetapi juga tentang kegelisahan karena telah mengabaikan kebutuhan terdalam dari diri sendiri. Dengan pilihan nada yang semakin mendalam dan ritme yang intens, bagian ini menjadi refleksi dari kerinduan eksistensial yang melampaui dimensi personal.
Secara keseluruhan, Tanda Tanya adalah sebuah potret yang menggugah tentang kondisi manusia—sebuah eksplorasi akan rasa kesepian, ketakutan, dan keraguan yang kerap menyertai perjalanan mencari jati diri. Meski dibalut dengan energi khas rockabilly yang penuh semangat, lagu ini membawa pendengar ke dalam ruang introspeksi yang hening. Pilihan nada vokal yang berat dan kaya emosi mengiringi pendengar untuk merenungkan makna kehidupan, kejujuran, dan keberanian untuk menerima diri apa adanya. Dengan kemasan musikal yang unik dan lirik yang tajam, Ranger Hijaw kembali menciptakan karya yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menantang untuk direnungkan.