Kawin Silang Musik dan Pariwisata

Kita berangkat dari tiga premis yang sedang aktual. Pertama, menyambut 2025 berbagai media internasional menobatkan Pulau Lombok sebagai destinasi terbaik di dunia. Di antaranya adalah Travel Lemming, sebuah media online yang berbasis di Amerika. Kemudian The Luxury Travel magazine sebuah majalah dari Australia. Dan terakhir sebuah media on line bernama Wave Finder yang berbasis di London juga menempatkan Lombok sebagai Lombok sebagai pulau untuk berselancar terbaik di dunia. Walaupun dari tahun ke tahun Pulau Lombok sering menorehkan reputasi di bidang pariwisata, tapi tetap berita-berita positif semacam itu akan selalu terdengar menyenangkan.

Premis kedua adalah rilis BPS yang menunjukkan tren kunjungan wisata dan tingkat penghunian kamar (TPK) hotel di NTB yang cenderung menurun di tahun 2024. Ini anti klimaks dari premise pertama. Tapi kita tidak akan membahas soal ini terlalu jauh karena akan terlalu panjang, rumit, dan sensitif.

Premise ketiga adalah berita pemerasan terhadap penonton WNA di acara musik Djakarta Warehouse Project (DWP) oleh belasan oknum polisi. Kita juga tidak akan membahas sisi hukum dari soal ini. Saya ingin menggarisbawahi soal bagaimana event musik itu bisa menarik minat turis untuk datang ke Indonesia. Ini menarik di tengah banyaknya penggemar musik berduit asal Indonesia yang justru sering menonton konser-konser di Singapura atau Australia.

Kita coba rangkaikan ketiga premis di atas. Keindahan alam Lombok tak terbantahkan dari ujung gunung sampai dasar lautnya. Tapi konsep wisata nature base tourism yang lemah akan pengembangan, kecil kemungkinan akan membuat orang berulang kali datang ke tempat yang sama. Sehabis datang dan berfoto-foto di Niagara, orang akan berpikir untuk mengunjungi Machu Picchu untuk perjalanan mereka berikutnya. Begitu juga orang akan merasa cukup untuk datang sekali saja ke Rinjani, Pantai Pink atau Gili Nanggu, yang penting pernah.

Negara-negara dengan angka kunjungan pariwisata yang tinggi seperti Prancis dan Spanyol banyak mengandalkan obyek-obyek wisata sejarah dan buatan. Wisata adalah narasi peradaban yang melahirkan sensasi yang khas. Wisata adalah industri, bukan lembar SK Desa Wisata. Ia butuh daya dukung berupa fasilitas dan aktifitas. Sekuat apapun promosinya, tanpa pengembangan daya tarik, lama-lama tidak akan menarik. Itulah tuduhan yang bisa kita lempar menjawab plot twist destinasi super prioritas dengan angka kunjungan wisata terbatas.

Seharusnya kita bisa belajar dari negara-negara tetangga. Thailand sebagai negara asia tenggara dengan kunjungan wisata tertinggi, awalnya memang mengandalkan kuil-kuil dan pantai. Tapi mereka menambahkan obyek-obyek wisata baru yang kini justru menjadi andalan seperti Museum Madame Tussauds Bangkok dan Siam Niramit. Singapura lebih terang lagi menjual wahana buatan, aktivitas dan event. Mengapa geliat pariwisata Bali terkonsentrasi di selatan? Karena pengembangan, aktifitas dan event ada di wilayah itu. Mereka terus berkembang dalam upaya menawarkan hal-hal baru. Mereka paham bahwa yang harus dijual adalah standar global, bukan egoisme lokal yang menetapkan bahwa kering, pedas dan berlemak adalah cita rasa terbaik.

Musik Sebagai Daya Pikat

Saya penonton setia event Senggigi Sunset Jazz Festival sejak periode pertama. Saya tidak pernah bosan karena line up artis setiap tahunnya selalu berganti dari mulai artis senior sampai pendatang baru. Mungkin juga begitu pikiran penonton lainnya sehingga event tahunan ini selalu sold out . Tahun 2024 rasanya paling pecah. Booth-booth penjual makanan juga banyak yang ludes sebelum acara selesai. Tapi yang menarik adalah bahwa acara tersebut mampu meningkatkan angka hunian kamar di sekitar Senggigi dan Mataram. Event ini terbukti mendorong kehadiran wisatawan ke Lombok. Fix.

Kemeriahan event itu sayangnya tidak diimbangi dengan cara pemerintah daerah memandang event itu. Indikator kesuksesan event itu oleh mereka diukur oleh pendapatan dari pajak dan parkir. Pemda dengan terang-terangan mempermalukan dirinya sendiri dengan mengekspos pendapatan mereka dari pajak yang ‘cuma’ 42 juta dan dari parkir yang juga ‘cuma’ 1,1 juta. Seakan tidak ada sirkulasi ekonomi lain yang terjadi. Meningkatnya okupansi hotel, omset UMKM, transaksi agen perjalanan, transaksi penyedia jasa transportasi dan seterusnya itu yang harusnya menjadi propaganda kesuksesan event yang harus diamplifikasi supaya lebih banyak pihak yang tertarik membuat event lagi di Lombok dengan skala besar. “Buatlah event di Lombok, anda pasti untung!”, seharusnya narasinya seperti itu. Jika logika transaksional yang digunakan, maka investasi pemerintah dalam sebuah event yang justru harus dihitung terlebih dahulu sebelum menghitung arus masuk ke kas daerah. Menurut saya itu baru fair.

Singapura misalnya, negara ini bahkan berani mensubsidi penyelenggaraan konser Taylor Swift. Alih-alih berbicara soal pajak hiburan, mereka bahkan membayar sejumlah insentif kepada agensi sang mega bintang. Hasilnya, konser 6 hari yang bikin iri negara ASEAN lainnya itu ditaksir menyumbang 10 persen dari PDB dari sektor pariwisata di Singapura. Lalu 70 persen penontonnya diisi oleh turis asing yang menghabiskan US$370 juta atau Rp5,8 triliun di Singapura. Total pendapatan akibat konser ini saja (dari seluruh sektor) diperkirakan mencapai 12-30 triliun!

Apa faktor sukses Singapura dalam menyelenggarakan konser-konser besar dan mampu menghadirkan penonton dari banyak negara? Pertama, tersedianya fasilitas, infrastruktur dan amenitas pariwisata yang memadai untuk berbagai segmen. Termasuk yang paling penting tentunya tempat konser yang berstandar internasional. Kedua, akses penerbangan yang mudah dan murah. Ketiga, harga tiket konser yang relatif murah. Hal ini tentu disebabkan ongkos produksi yang juga murah dari semua komponen: sewa venue, biaya kargo, tiket pesawat artis dan crew. Keempat, adanya proteksi terhadap aktifitas ticket scalping atau calo tiket. Kelima, kebijakan pemerintah yang mengatur sedemikian rupa untuk membuat tiket konser menjadi murah dengan tujuan agar tiket konser tersebut menjadi trigger bagi penggemar musik untuk membelanjakan uang di sektor-sektor wisata lainnya. Demikian pentingnya konser bagi pertumbuhan pariwisata Singapura.

Apa yang paling realistis kita lakukan?

Karena Lombok belum memiliki keunggulan seperti yang Singapura atau negara-negara lain yang kuat dalam penyelenggaraan event, bukan berarti bahwa Lombok tidak bisa menyelenggarakan konser yang dapat mendatangkan turis mancanegara. Event organizer dan Vendor lokal sudah cukup berpengalaman dalam penyelenggaraan event dari berbagai skala. Begitupun peralatan dan perlengkapan event sudah bisa bersaing dengan yang dimiliki oleh kota-kota besar lain di Indonesia, dan sebagai produk, sebagian besar konser-konser musik di Lombok laku dijual. Diperlukan pengujian atas berapa presentase penonton lokal dibandingkan dengan yang datang dari luar. Ini penting untuk menjelaskan apakah orang dari luar datang kemari untuk menonton konser dan membelanjakan uangnya, ataukah sebaliknya warga Lombok yang bergotong royong membeli tiket untuk memperkaya artis-artis nasional.

Penyelenggaraan event besar memang lebih bertenaga untuk mendorong tumbuhnya sektor pariwisata, tetapi penyelenggaraannya secara reguler effort-nya akan sangat besar dan mungkin bagi pihak sponsor, pesan iklan dinilai akan sampai pada titik jenuh. Jadi mengapa kita tidak memulai dengan ide lain? Di wilayah Mataram dan Lombok Barat ada tujuh venue yang dapat digunakan untuk menggelar konser musik atau kesenian lainnya berskala kecil dan sedang. Sayangnya belum ada satu venue pun yang memiliki program reguler, sementara dalam bidang musik saja kita memiliki cukup banyak talenta yang memiliki kualitas karya yang layak untuk dipertaruhkan mentas dalam sebuah gigs berselera global. Infrastruktur ada, talent ada: Satu.

Kemudian darimana kita memperoleh pasokan penonton global? Kita memiliki Gili Trawangan yang angka kunjungannya per hari bisa mencapai 2.500 orang. Bagi saya Gili Trawangan memiliki potensi untuk menjadi tourist trap point yang bisa menyebarkan dan memperpanjang masa kunjungan ke Pulau Lombok, tentunya dengan membangun koneksi yang kuat dengan daratan Pulau Lombok. Perlu sebuah display modern yang memberi informasi tentang event-event yang diselenggarakan di Pulau Lombok, dan perlu perbaikan dermaga Senggigi untuk meningkatkan pelayanan transportasi tourist dari Gili Trawangan langsung ke jantung Pulau Lombok. Tak jauh dari dermaga sekarang sudah selesai proyek revitalisasi pasar seni yang sangat layak untuk menjadi tempat pertunjukan dalam skala kecil. Ide ini tentu terbuka untuk pengembangan-pengembangan, tetapi poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa kita memiliki potensi pengunjung konser musik mancanegara dengan mengkanalisasi tourist yang ada di Gli Trawangan ke Pulau Lombok. Jadi penyediaan pasar musik sangat mungkin direalisasikan: Dua.

Kemeriahan Island Vibes Reggae Party 2024 di Samasama Reggae Bar, Gili Trawangan
FOTO/Instagram: @islandvibes.music

Sebagai bagian dari industri kreatif, musik dapat melahirkan turunan-turunan bisnis seperti merchandise yang dapat berupa kaos, topi atau CD album. Jikapun tidak, musisi dapat mempromosikan karyanya untuk dapat didengar secara on line untuk meningkatkan valuasi dari streaming right mereka.Hal tersebut secara tidak langsung akan memperkuat ekosistem musik itu sendiri. Demikian yang ketiga adalah jalan tengah untuk mengawinkan kepentingan dunia musik dengan dunia pariwisata dalam satu skema aktivitas kesenian yang integral langsung di sebuah destinasi legend yang juga butuh revitalisasi: Senggigi.

1 komentar untuk “Kawin Silang Musik dan Pariwisata”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top