“Ini proyek idealis,” kata seorang teman musisi ketika saya bertanya mengapa ia menciptakan lagu dengan gaya yang jauh berbeda dari band sebelumnya. Jawaban itu membuat saya berpikir. Sebagai musisi, sering kali saya terlibat dalam berbagai proyek musik dengan gaya dan arah yang beragam. Fenomena musisi yang memiliki banyak proyek dengan identitas berbeda sudah menjadi hal yang umum, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Namun, pertanyaannya, apakah ini murni bentuk ekspresi artistik atau ada tekanan dan kegelisahan yang lebih dalam di baliknya?
Bagi saya, kebutuhan untuk memiliki lebih dari satu proyek musik biasanya lahir dari keinginan untuk mengeksplorasi sisi lain diri saya yang tidak dapat diwujudkan dalam satu jenis musik saja. Proyek-proyek ini sering kali menjadi pelarian dari kejenuhan atau tekanan untuk tetap relevan di tengah persaingan industri musik. Misalnya, ketika bermain dengan sebuah band rock, ada kalanya saya merasa ingin mencoba sesuatu yang berbeda, seperti musik folk atau etnik, untuk menyalurkan sisi kreativitas yang lain.
Memiliki banyak proyek bukan tanpa tantangan. Setiap proyek membutuhkan waktu, energi, dan fokus untuk membangun identitasnya sendiri. Tidak jarang, ada yang harus dikorbankan—entah itu waktu, kualitas, atau kedalaman karya. Beberapa proyek bahkan terasa dangkal karena kurangnya komitmen untuk benar-benar menghidupi proses kreatifnya.
Fenomena yang saya alami sebenarnya bukan hal baru. Sejak era 70-an, kita sudah melihat Murry dari Koes Plus yang membentuk Murry’s Group, atau Achmad Albar yang menciptakan lagu solo seperti Zakia, yang sangat berbeda dari musik kerasnya di God Bless. Di era 80-an, Deddy Stanzah dari The Rollies dan Candra Darusman dari Chaseiro juga menciptakan karya solo dengan warna musik yang baru. Semua ini mereka lakukan sebagai cara untuk mengeksplorasi sisi artistik yang tidak dapat diwujudkan dalam band utama mereka.
Pada era 90-an dan 2000-an, Ahmad Dhani mendirikan T.R.I.A.D., sementara Eross Candra dari Sheila on 7 membentuk Jagostu. Proyek-proyek ini menunjukkan bagaimana musisi masa itu mampu tetap eksploratif sambil menjaga identitas utama mereka. Di masa kini, kita bisa melihat Daniel Baskara Putra dengan proyek-proyeknya seperti Hindia, Feast, dan Lomba Sihir. Setiap proyek Baskara memiliki karakter dan pesan yang berbeda—Hindia untuk eksplorasi sisi personal, Feast untuk kolaborasi eksperimental, dan Lomba Sihir untuk memperkenalkan musisi-musisi di sekitarnya.
FOTO/Instagram: @lombasihiryes
Namun, era media sosial membawa tantangan baru. Banyak musisi muda kini menciptakan proyek baru tanpa fondasi identitas yang kuat. Tekanan untuk terus relevan dan produktif sering kali membuat karya terasa instan, tanpa kedalaman. Berbeda dengan musisi era lama –yang beberapa saya sebutkan di atas – memiliki visi artistik yang matang, membangun satu identitas yang kuat sebelum merambah pada proyek lainnya, sedangkan musisi masa kini fokusnya terseret untuk mengejar tren, bahkan sebelum membangun karakter dan identitas yang kuat.
Tampaknya pola tersebut ada hubungannya dengan algoritma media sosial. Fitur seperti infinite scroll membuat pengguna beralih dari satu konten ke konten lainnya tanpa mendalami apa yang mereka konsumsi. Hal ini memengaruhi setiap orang termasuk musisi untuk terus menciptakan sesuatu yang menarik perhatian, meskipun kadang harus mengorbankan kualitas dan substansi.
Di sisi lain, alter-ego menjadi solusi bagi banyak musisi untuk bereksperimen dengan gaya musik baru tanpa harus mengganggu identitas utama mereka. Alter-ego ini menjadi ruang eksperimen, tetapi tidak jarang juga menjadi cara untuk mengatasi tekanan sosial atau bahkan masalah psikologis. Proyek ganda sering kali muncul bukan hanya karena kebutuhan eksplorasi artistik, tetapi juga sebagai respons terhadap tekanan eksternal.
Keuntungan memiliki proyek lintas genre tetap tidak bisa diabaikan. David Bowie menjadi contoh sempurna bagaimana eksplorasi lintas genre dapat memperkaya karier musik. Dengan Ziggy Stardust, alter-egonya yang ikonik, Bowie menciptakan karakter alien rock and roll yang membawa pesan harapan bagi umat manusia. Ziggy tampil flamboyan dengan rambut merah menyala, riasan mencolok, dan kostum futuristik, menjadi simbol kebebasan generasi muda di era 70-an. Album The Rise and Fall of Ziggy Stardust and the Spiders from Mars menjadi mahakarya yang merevolusi musik rock. Lagu-lagu seperti Starman dan Ziggy Stardust tidak hanya menunjukkan kejeniusan musik Bowie, tetapi juga menyampaikan pesan mendalam melalui seni.
FOTO/artsandcollections
Namun, Bowie tidak membiarkan kesuksesan Ziggy membelenggunya. Hanya setahun setelah memperkenalkan alter-egonya, ia memutuskan untuk mengakhiri era Ziggy dan terus bereksperimen dengan identitas baru. Keputusan ini menunjukkan keberanian Bowie untuk selalu berkembang, menegaskan warisannya sebagai seniman yang melampaui batas kreativitas. Ziggy Stardust tidak hanya mencerminkan eksplorasi artistik Bowie tetapi juga kekuatan musik untuk menginspirasi dunia.
Tantangannya tetap pada menjaga keseimbangan. Terlalu banyak proyek tanpa visi yang jelas dapat membuat karya kehilangan kedalaman. Oleh karena itu, penting untuk selalu kembali ke tujuan awal: menciptakan musik yang memiliki arti, baik bagi diri sendiri maupun pendengar.
Bagi saya, musik adalah perjalanan yang membutuhkan waktu dan refleksi. Proyek yang lahir dari proses mendalam selalu terasa lebih berkesan. Tekanan untuk terus produktif kerap membuat kita lupa akan nilai dari perjalanan itu sendiri. Dengan membangun fondasi identitas yang kuat dan eksplorasi yang terarah, musik yang diciptakan tidak hanya relevan tetapi juga bermakna bagi semua yang mendengarkannya.