Pada tahun-tahun sebelum era internet, penyebaran karya musik didominasi oleh stasiun televisi dan radio. Pemilihan lagu yang diputar sangat bergantung pada selera penyedia layanan atau pesanan dari pihak tertentu. Dulu, beberapa stasiun radio bahkan hanya memutar lagu-lagu yang menjadi identitas dagang mereka. Misalnya, di Bandung ada Generasi Muda Radio (GMR) yang khusus memutar lagu-lagu rock, di Jakarta ada Prambors yang memutar lagu-lagu hits kontemporer dan seterusnya.
Pada masa itu, TVRI menjadi satu-satunya stasiun televisi di Indonesia selama 27 tahun, sehingga memiliki kendali besar dalam membentuk selera musik publik. Lagu-lagu yang disiarkan hanya lagu-lagu yang tidak mengganggu kredibilitas pemerintah, dan atau lagu-lagu yang menurut pikiran bisnis pemilik perusahaan rekaman akan mudah laku di masyarakat. Mudah laku itu pengertian gamblangnya adalah murahan.
Bertemunya otoritas tunggal TVRI dengan kepentingan pemodal sangat berpotensi terhadap jual beli idealisme berkesenian, yang menyebabkan proses kreatif terdegradasi. Karakter dan selera publik diobok-obok dengan mudah oleh kombinasi antara otoritas dengan modal tersebut. Waktu itu telinga kita dijejali oleh artis-artis seperti Ratih Purwasih, Arie Wibowo, Nia Daniati, Iis Sugianto dan banyak lainnya yang semuanya memberikan kontribusi negatif terhadap konstruksi musik Indonesia. Tema yang seragam, lirik yang receh, musik yang ringkih, notasi yang mudah ditebak. Intinya musik yang berkebalikan dengan perkembangan musik dunia yang makin moderen dan penuh inovasi. Bayangkan saat itu masih ada Queen, dan Michael Jackson yang mulai bersinar. Di sisi lain kita justru disuguhkan musik-musik yang tidak memiliki tanggung jawab dalam berkesenian. Masyarakat dibodohi dan dirusak seleranya.
Padahal di era itu Indonesia tidaklah kekurangan karya-karya berkualitas. Album “Badai Pasti Berlalu” misalnya, merupakan sebuah album yang bahkan sulit ditandingi sampai saat ini dalam seluruh aspek: lirik, lagu, komposisi, karakter. Atau album ke dua God Bless bertajuk “Cermin” yang rilis tahun 1980. Ini juga album dengan nuansa progresif yang cukup rumit tapi dirancang untuk tetap nyaman didengarkan. Pada fase berikutnya saat trend musik fusion di dunia merebak dengan diwakili grup-grup seperti Mezzoforte, Cassiopea, Shakatak, Level 42, band-band fusion Indonesia juga tak memiliki cukup tempat di TVRI. Bhaskara, Rakata, Karimata tergeser oleh Mukhlas Ade Putra, Tommy J. Pisa dan Pance Pondaag.
sumber gambar: dari sini
Situasi itu lumayan terselamatkan oleh dibukanya cakrawala musik masyarakat Indonesia oleh kolom musik internasional di beberapa media cetak seperti Hai, Monitor, dan Suara Karya Minggu. Walaupun lebih mengedepankan musik-musik industri, tetapi setidaknya cukup memberikan referensi terhadap tren musik yang tengah populer di dunia terutama dari dua genre besar yaitu Pop dan Rock. Segmen musik yang lebih berbobot mulai terbuka, festival-festival musik (pengertian festival dulu adalah kompetisi) membanjir dimana-mana.
Era Televisi Swasta dan Digitalisasi Musik
Pada perkembangannya, pemerintah akhirnya membuka izin lahirnya televisi-televisi swasta. Pionir TV swasta Indonesia, RCTI, menayangkan klip-klip musik internasional yang saat itu terasa sangat mewah lewat program musik Rocket. Kemudian program musik MTV Asia mulai masuk juga di Indonesia pada tahun 1995 yang menyebabkan derasnya kelahiran artis-artis musik baru dari genre yang sedang berkembang di zamannya. Pada titik ini, pemodal tak lagi bisa sepenuhnya merekayasa selera pasar sebab TV yang sudah mulai menjadi ruang etalase berbagai produk, mulai mempersilahkan peminat musik secara sadar menentukan pilihan mereka sendiri. Bahkan artis-artis yang tidak terafiliasi oleh pemodal besar (baca: major label) membuat caranya sendiri untuk membuka pasar lewat jalur independen yang dikenal dengan produk indie label (istilah yang kemudian banyak disalah artikan sebagai genre). Band-band besar Indonesia banyak lahir dari situasi itu seperti: Dewa 19, Padi, Gigi, Sheila On Seven dan seterusnya. Toko-toko musik seperti Aquarius dan Disc Tara menjadi tempat hangout anak gaul, berbagi segmen dengan Gramedia yang menjadi tempat favorit kalangan akademik dan aktifis.
Revolusi musik digital mulai terjadi saat muncul platform musik digital bernama Napster. Ia adalah layanan streaming musik dan toko musik online legal yang memungkinkan pengguna untuk mengakses dan melakukan streaming lagu secara legal. Kehadirannya mulai dicemaskan oleh artis-artis besar dunia. Bahkan Metallica sempat mengajukan gugatan terhadap Napster terkait pelanggaran hak cipta, pemerasan, dan penggunaan perangkat antarmuka audio digital yang melanggar hukum di pengadilan distrik di California. Gugatan Metallica terhadap Napster menjadi perdebatan sengit tentang hak kekayaan intelektual di era digital paling terkemuka.
sumber gambar: dari sini
Tapi digitalisasi kian tak terbendung. Platform-platform lain bermunculan termasuk paltform-platform yang menyediakan sarana bagi artis-artis yang tak dinaungi label rekaman arus besar atau juga indie label. Platform yang hanya sekedar menyediakan ruang kreasi yang bisa diakses publik secara gratis untuk memperkenalkan karya-karya musisi yang masih dalam tahap berupaya mempopulerkan karya mereka. Belum masuk pada fase industri atau boleh dibilang belum memiliki motif ekonomi. Salah satunya adalah reverbnation.
Disrupsi teknologi yang semakin menjadi-jadi merambah cepat juga ke arena musik digital. Saat ini seorang artis bisa menjadi produser, publisher dan agregator sekaligus lewat platform seperti Spotify atau Itunes. Jika kita percaya setiap karya memiliki pasarnya masing-masing, maka dengan keberuntungan atau trik-trik pemasaran yang tepat, setiap artis memiliki peluang yang sama untuk sukses.
Trik-trik pemasaran digital ini unik dan terus berkembang. Saat ini misalnya, umum dilakukan berbagai cara, misalnya: dengan membuat berbagai macam akun kloning di berbagai media sosial yang diisi backsound musik yang diinginkan. Atau bekerja sama dengan para influencer untuk menyisipkan backsound musik yang diinginkan. Atau juga dengan masuk ke dalam berbagai playlist populer, entah dengan membayar atau kesepakatan tertentu lainnya.
Teknologi dan Masa Depan Musik
Lalu bagaimana di masa depan? Saat ini satu atau dua jam ke depan saja sudah menjadi masa depan. Velocity, bukan speed lagi. Saya memprediksi banyak hal yang mengejutkan akan terjadi dalam konteks musik dalam waktu yang tak terlalu lama lagi. Ya, tentu saja berbasis pada percepatan teknologi itu tadi. Misalnya yang mungkin jarang kita sadari adalah ketika kita menyebutkan suatu kata, maka kemudian layar ponsel kita akan menampilkan hal yang terkait dengan apa yang kita ucapkan (terutama iklan). Dalam beberapa kasus yang tidak bisa masuk dalam nalar saya adalah bahwa saya sering dikagetkan dengan apa yang masih dalam ruang pikir saya, muncul di beranda saya! Mungkin itu hanya kebetulan, tetapi soal apa yang kita ucapkan bisa diproses dalam algoritma berbagai platform mulai bisa kita pahami.
Jadi nampaknya kita sudah mulai harus belajar untuk tidak mudah terkejut dengan perkembangan-perkembangan ke depan agar cermat dalam merancang strategi baru atau setidaknya beradaptasi dengan science yang mulai bertransformasi menjadi ilmu sihir ini. Sebentar lagi dia akan beradaptasi dengan perasaan anda! Saat anda dalam kondisi marah, maka rekomendasi playlist yang akan anda dapatkan adalah dari Ebiet G Ade, Richard Clayderman atau Kenny G untuk menyeimbangkan sisi emosi anda. Saat anda sedang malas berangkat ke kantor, maka rekomendasi musik yang akan ditawarkan pada anda adalah musik bersemangat dari Megadeth, AC/DC, Kid Rock atau apalah. Jadi yang akan menjadi pengendali dari pasar musik dunia itu nantinya adalah: perasaan dari masing-masing individu itu sendiri yang diterjemahkan dengan ajaib oleh apa yang kita kenal saat ini dengan AI. Kamera depan anda akan menjadi sensor pembaca gestur, microphone akan menjadi sensor ritme nafas anda. Dari situ dia menyimpulkan mood penggunanya. Dan lebih gila lagi ketika anda menolak memutar rekomendasi yang ditawarkan, dia akan mengatur hidup anda dengan satu kalimat voice note: “apakah anda yakin untuk melawan perasaan anda?”
Siapapun di dunia ini yang menggunakan ponsel, sesungguhnya telah menyerahkan informasi pribadi, kebiasaan dan bahkan rencana-rencananya. Semua itu kemudian dirangkai menjadi satu metadata yang bermanfaat sebagai kajian dalam data analitik yang biasanya memetakan pasar dalam kewilayahan. Termasuk musik. Selera musik akan terpetakan berdasarkan demografi dan karakter suatu daerah. Traffic koplo akan tetap tinggi di Pantura, dan traffic Jazz akan tetap rendah di India. Preferensi kelokalan akan memudahkan AI dalam membantu anda memutuskan hal-hal yang tepat untuk anda. Dan sebaliknya pantangan utama bagi AI adalah, dia tidak akan menyuguhkan apa yang tidak anda sukai.
Dalam tulisan ini saya sekaligus ingin memberikan ilustrasi atas pertanyaan, apakah manusia kelak akan dikendalikan oleh teknologi atau sebaliknya. Tapi jika anda membutuhkan kegilaan baru, maka saya membuka ruang diskusi untuk itu.
mantep pak Ari,,, sukses selalu,,, terus berkarya ,,, yg pasti karyanya pak Ari mantep semua
Penulisnya seorang jurnalis. Nash-nashnya kuat.