oleh: Putu Yudhistira – Penonton setia Senggigi Sunset Jazz
“Where words fail, music speaks.” – Hans Christian Andersen
Pantai Kerandangan terasa seperti panggung raksasa pada 2 November 2025 lalu. Saat Senggigi Sunset Jazz (SSJ) 2025 digelar, semua generasi larut dalam euforia yang sama—dengan cara mereka sendiri.
Generasi X dan Milenial bernyanyi penuh nostalgia saat Ebiet G. Ade dan Padi Reborn membawakan lagu-lagu yang dulu jadi soundtrack hidup mereka. Di sisi lain, Gen Z menggalau bersama bersama Nadin Amizah, Bernadya, dan Juicy Luicy. Semua orang bergembira, menikmati genre musik masing-masing, namun terhubung oleh satu hal yang sama: kebahagiaan kolektif di bawah langit jingga Senggigi.
Namun setelah lampu panggung padam dan acara selesai, narasinya kembali sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Para pejabat memuji keberhasilan SSJ dalam “meningkatkan pariwisata, ekonomi kreatif, dan UMKM Lombok Barat.”
Tentu itu kabar baik, tapi ada satu hal yang sering luput dari pembicaraan resmi: fungsi sosial festival itu sendiri.

Musik bukan cuma angka
Sunset Jazz bukan sekadar acara ekonomi atau branding pariwisata. Ia adalah ruang sosial tempat masyarakat—terutama anak muda—bisa bernafas sebentar dari tekanan hidup.
Di tengah situasi ekonomi yang bikin cemas, dunia digital yang penuh distraksi, dan rutinitas yang makin melelahkan, festival musik seperti SSJ jadi healing space bersama: tempat tertawa, bernyanyi, dan merasa hidup lagi.
Dan ini bukan sekadar opini. Penelitian ilmiah mendukung hal ini.
Menurut Chen et al. (2023), musik terbukti menurunkan kadar hormon stres (kortisol) dan meningkatkan emosi positif. Sementara Ahn et al. (2023) menemukan bahwa partisipasi masyarakat dalam festival komunitas meningkatkan kebahagiaan (well-being) dan memperkuat rasa kebersamaan sosial.
Dengan kata lain: nonton konser bareng bisa bikin kita lebih sehat secara mental dan lebih terhubung dengan sesama.
Ruang kreativitas anak muda
Bagi anak muda Lombok, SSJ bukan cuma panggung musik, tapi juga panggung ide. Mereka melihat bagaimana seni bisa hidup di ruang publik—bukan sekadar di sekolah atau layar TikTok. Selain itu, banyak remaja juga mengamati langsung bagaimana sebuah event besar dirancang, dipersiapkan, dan dijalankan. Dari pemilihan artis, tata panggung, pengaturan logistik, hingga interaksi dengan penonton, mereka belajar bagaimana membuat dan mengorganisir sebuah festival yang baik, yang bisa dinikmati banyak orang.
Riset Heath & Tzioumis (2021) menunjukkan bahwa keterlibatan anak muda dalam kegiatan seni berkorelasi positif dengan kemampuan berpikir kreatif dan empati sosial.
Jadi, ketika remaja datang ke SSJ, mereka tak hanya menonton. Mereka belajar bagaimana ekspresi bisa jadi cara untuk memahami diri sendiri dan dunia sekitar, sekaligus menimba pengalaman nyata dalam manajemen event dan kerja sama tim.

Ekonomi penting, tapi bukan satu-satunya
Tidak bisa dipungkiri, SSJ juga menggerakkan ekonomi lokal—dari penjual jus dingin, cilok, barista kopi, hingga tukang parkir dadakan. Tapi berbagai studi, termasuk dari PATA (2022), mengingatkan bahwa dampak ekonomi festival sering kali bersifat sementara dan terlalu dilebih-lebihkan.
Yang lebih abadi justru efek sosial dan kulturalnya: festival memperkuat identitas daerah dan rasa kebersamaan warga. Itu modal sosial yang nilainya tidak bisa diukur dengan rupiah.
Jadi, apa arti SSJ sebenarnya?
Bagi saya, Senggigi Sunset Jazz bukan sekadar “event pariwisata.” Ia adalah ruang kebahagiaan publik—tempat di mana masyarakat Lombok bisa menyalakan semangat hidup, memperkuat hubungan sosial, dan menumbuhkan kreativitas lintas generasi.
Di tengah dunia yang makin sibuk menghitung untung dan rugi lewat angka statistik, Senggigi Sunset Jazz mengingatkan kita bahwa kebahagiaan publik adalah bentuk kemajuan yang paling nyata.

foto oleh: @riizki._ @ysrlsptr
https://shorturl.fm/N37O6