Kalau Negara Main Musik, Mungkin Genrenya Progresif—Karena Tak Pernah Tamat

Kalau musik adalah bahasa universal, maka birokrasi Indonesia adalah versinya yang paling sulit diterjemahkan. Setiap nada punya formulir, setiap harmoni butuh surat izin. Kadang rasanya lebih gampang bikin album musik daripada bikin surat keterangan tempat pertunjukan dari kelurahan.

Maka ketika Konferensi Musik Indonesia 2025 (KMI 2025) muncul membawa setumpuk rekomendasi tentang masa depan musik nasional, saya membacanya dengan perasaan campur aduk—antara kagum dan waswas. Kagum, karena akhirnya negara mau membicarakan musik dengan nada yang jauh lebih serius. KMI 2025, yang digelar sejak 8 hingga 12 Oktober di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, melibatkan ratusan pelaku musik dari berbagai daerah dan latar belakang. Sebuah forum besar yang di atas kertas tampak menjanjikan. Namun di sisi lain, saya tetap waswas—sebab pengalaman mengajarkan, yang tampak indah di dokumen resmi sering kali berubah jadi lagu patah hati di lapangan.

Sebagai pelaku musik yang hidup di daerah, saya tentu ingin berharap. Saya ingin percaya bahwa rekomendasi itu bukan sekadar kicauan pejabat yang baru saja menonton August Rush lalu mendadak merasa menemukan harmoni dalam kebijakan. Di dalam dokumen KMI 2025, ada banyak nada manis: reformasi sistem royalti, pembiayaan berbasis kekayaan intelektual, pembangunan venue musik berstandar internasional, sampai revisi kurikulum musik nasional. Semuanya terdengar megah dan penuh visi. Tapi seperti konser yang tata cahayanya spektakuler, kemegahan itu tak selalu bisa menutupi panggung yang retak.

1. Ketika Regulasi Jadi Lagu Paling Sulit Dipentaskan

Salah satu rekomendasi utama KMI 2025 adalah penyusunan Surat Keputusan Bersama (SKB) lintas kementerian untuk menyederhanakan regulasi dan perizinan musik. Ide ini terdengar keren—di atas kertas. Asal jangan sampai di lapangan malah bias dan berbelit, seperti mendengar lagu progresif berdurasi 12 menit: rumit, berlapis, dan ujungnya entah ke mana.

Saya pernah beberapa kali mengurus izin panggung. Yang satu bilang butuh surat dari kelurahan, yang lain minta rekomendasi dari dinas. Setelah semua lengkap, muncul lagi satu persyaratan baru: “izin keramaian dari kepolisian.” Semua berlapis, semuanya merasa paling berwenang. Maka kalau ada SKB dari Jakarta yang niatnya menyederhanakan, kami di daerah cuma bisa senyum tipis. Tanpa dasar hukum yang kuat di tingkat lokal, SKB itu cuma akan jadi poster indah yang tak pernah dibaca.

Dan jangan lupa, di birokrasi Indonesia, selalu ada “tanda tangan terakhir”—you know what I mean—yang menentukan apakah panggung boleh berdiri atau tidak. Kadang yang menentukan bukan pejabatnya, tapi cuaca dan suasana hati petugas loket.

2. Kolaborasi Lintas Sektor: Antara Jabat Tangan dan Jarak Sosial

KMI 2025 juga banyak bicara soal kolaborasi lintas sektor—pemerintah, swasta, dan komunitas bersatu membangun ekosistem musik nasional. Terdengar seperti simfoni besar. Tapi di praktiknya, sering kali hanya jadi lagu pembuka yang tak pernah dilanjutkan.

Biasanya, kolaborasi itu berhenti di Jakarta: konferensi pers, foto berjabat tangan, lalu kalimat pamungkas, “akan ditindaklanjuti.” Setelah itu? Sunyi. Padahal, di daerah, komunitas musik sudah lama berkolaborasi dengan cara paling sederhana: patungan sewa sound system, gotong royong bikin gigs di halaman depan warung kopi, atau pakai ruang tamu jadi studio.

Kalau pemerintah benar-benar ingin bicara kolaborasi, mestinya mulai dari mereka. Dinas kebudayaan dan pariwisata daerah perlu dilibatkan bukan sebagai penggembira, tapi sebagai penggerak yang kemudian “mau ngopi bersama komunitas”. Kolaborasi bukan sekadar jargon, melainkan kerja yang saling mendengar—bukan saling selfie.

Band Lombok membawakan karya-karya orisinal mereka di halaman warung kopi

3. Data, Dana, dan Bias Jawa

Salah satu rekomendasi yang tampak menjanjikan adalah riset dan pendataan ekonomi musik nasional. Ini langkah penting. Tapi saya curiga, seperti banyak riset nasional lainnya, data musik Indonesia akan kembali bias Jawa.

Musik dari pusat—Jakarta, Bandung, Yogyakarta—akan jadi sorotan utama. Sementara ekosistem musik dari daerah, genre eksperimental, musik etnik, sampai skena indie di luar pulau besar, cuma jadi catatan kaki. Akibatnya, kebijakan yang lahir dari data semacam itu bisa timpang: dibangun dari statistik yang tak pernah menengok pinggiran.

Lalu ada juga wacana pembiayaan berbasis kekayaan intelektual. Kedengarannya keren—lagu bisa jadi jaminan bank, karya jadi aset ekonomi. Tapi di sini, di daerah, banyak musisi yang bahkan belum punya sertifikat hak cipta. Bukan karena tak peduli, tapi karena memang tak tahu caranya, tidak mengerti urgensinya, bahkan tak sanggup membayar biayanya. Jadi, bagaimana mau menjaminkan karya ke bank, kalau untuk mencetak sertifikat saja masih megap-megap?

Kebijakan semacam ini akhirnya hanya dinikmati oleh mereka yang sudah mapan. Sementara pelaku musik kecil masih hidup dari amplop pertunjukan dan semangat solidaritas. Kekayaan intelektual terasa seperti istilah dari planet lain.

4. Gedung Megah, Panggung Retak

Rekomendasi lain yang bikin saya mengernyit adalah pembangunan venue musik berstandar internasional. Di banyak kota, bahkan gedung kesenian yang sederhana saja sudah lama terbengkalai. Lantai panggung retak, lampu rusak, dan sound system tinggal nama. Maka ketika negara bicara soal gedung konser megah, kami di daerah cuma bisa tertawa getir.

Untuk apa membangun panggung di awan, kalau tanah di bawahnya saja belum kuat? Musik tidak butuh venue mewah untuk hidup. Ia butuh ruang yang ramah, yang bisa diakses komunitas tanpa proposal setebal novel. Kadang halaman rumah, aula desa, atau teras kafe sudah cukup—asal tidak disegel karena “izin belum lengkap.”

5. Royalti, Jaminan Sosial, dan Realitas di Warung Kopi

Reformasi royalti musik juga terdengar menjanjikan. Tapi di daerah, penegakan hukumnya masih seperti amplifier tanpa listrik. Banyak kafe belum tahu apa itu royalti, apalagi membayar. Musisi lokal yang main setiap malam bahkan tak tahu ke mana harus menagih haknya. Tanpa sistem edukasi dan pengawasan yang jelas, royalti hanya jadi jargon legal yang tak pernah menyentuh amplop honor.

Begitu juga soal perlindungan sosial bagi pekerja musik. Banyak di antara kami bekerja tanpa kontrak, tanpa BPJS, dan tanpa jaminan apa pun. Kami hidup di antara panggung dan warung kopi, di antara idealisme dan ongkos listrik studio. Membicarakan jaminan sosial tanpa solusi konkret bagi pekerja informal, sama saja seperti membahas asuransi hujan untuk nelayan di tengah badai.

6. Kurikulum Nasional dan Kegelisahan Daerah

Revisi kurikulum musik nasional mungkin niatnya baik: menata ulang pendidikan musik Indonesia agar lebih modern. Tapi justru di sinilah muncul kecemasan baru. Ada ketakutan bahwa penyeragaman kurikulum akan menekan keberagaman musik tradisional lokal. Kita tahu, dalam buku pelajaran, musik daerah sering hanya jadi “bumbu eksotis” di pinggir halaman. Padahal, keberagaman itu adalah inti kekuatan kita.

Begitu juga dengan program Visa Mobilitas Kebudayaan. Gagasan agar musisi bisa menembus kancah global itu bagus, tapi kalau tak ada dana afirmatif untuk musisi daerah, program ini hanya akan jadi jalur cepat bagi mereka yang sudah punya akses. Yang lain tetap bernyanyi di tempat, sambil menunggu undangan yang tak kunjung datang.

7. Menyimak Irama dari Pinggiran

Jadi, ke mana semua rekomendasi itu akan membawa kita? Saya tidak ingin pesimis. Tapi sejarah sudah berulang kali membuktikan: musik bisa menyatukan manusia, sementara birokrasi justru sering memisahkan mereka.

Kalau negara benar-benar ingin membangun ekosistem musik yang sehat, langkah pertama bukan menambah regulasi—tapi memangkas jarak antara kebijakan dan kenyataan. Mulailah dengan mendengarkan suara-suara di daerah. Bukan hanya mereka yang bersuara keras di pusat, tapi juga gema kecil dari studio di pelosok, dari panggung bambu di kampung, dari mereka yang menulis lagu bukan demi pasar, tapi demi hidup yang lebih bermakna.

Namun, mendengarkan saja tidak cukup. MenetapkanSistem Perizinan Satu Pintu Terintegrasi Digital akan menjadi langkah pemerintah pusat yang lebih terasa nyata, sekaligus menghapus persyaratan surat-surat dari tingkat kelurahan. Langkah konkret ini bisa memangkas rantai birokrasi dan memberi contoh model efisien bagi daerah lain.

Selain itu, pembiayaan berbasis kekayaan intelektual bisa disalurkan melaluiSkema Hibah Awal Afirmatif yang mencakup biaya pendaftaran hak cipta, misalnya bagi sedikitnya 100 musisi daerah per tahun. Dengan cara ini, kebijakan tak hanya berhenti di wacana, tapi benar-benar mengubah kehidupan mereka yang mencipta dari pinggiran.

Beberapa poin di atas tentu hanyalah sebagian kecil dari banyaknya kegelisahan dan tanda tanya soal bagaimana hasil rekomendasi KMI 2025 akan diterjemahkan menjadi aksi nyata. Semoga saja kekhawatiran saya—dan mungkin juga keresahan banyak pelaku musik di daerah—bisa perlahan terhapus, saat satu saja langkah konkret diwujudkan oleh tim pelaksana hasil rekomendasi itu. Anggap saja ini semacam doa yang saya titipkan dari pinggiran warung kopi di pelosok kota kecil, tempat kami biasa menggelar gigs sederhana, menyalakan lampu panggung seadanya, dan terus memainkan lagu-lagu yang lahir dari keyakinan: bahwa musik Indonesia akan tetap hidup, meski sering kali negara datang terlambat untuk mendengarkan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top