Bagi saya, solo gitar dengan warna rock dalam sebuah interlude lagu lebih dari sekadar improvisasi untuk melengkapi bagan sebuah lagu. Ia mampu mengaduk emosi sebuah lagu menjadi lebih dalam—yang tidak melulu soal kecepatan, kerumitan, dan teknik. Ini lebih kepada bagaimana nada-nada yang dibangun itu mampu menuntun sensor audio kita untuk terjebak dalam keindahan, menetap lama dalam memori, dan menancapkan kesan estetika yang dalam—yang tak jarang membuat perasaan kita tanpa sadar dikendalikan oleh sensasi audio yang kita tangkap itu. Kepekaan seorang gitaris dalam merespons sebuah lagu bahkan sering membuat sebuah solo gitar rock lebih dirindukan ketimbang bagian lain dari sebuah lagu.
Saya mencoba menyusun urutan solo gitar hebat dengan indikator kualitatif yang saya sebutkan di atas tadi. Berikut urutannya:
1. Bohemian Rhapsody – Brian May
Di lagu ini, Brian May tidak hanya memainkan gitar—ia seperti sedang menulis puisi dengan nada. Solo-nya di lagu ini bukan klimaks, tapi jembatan menuju kegilaan operatik dan letupan rock di ujung lagu.
Referensi: Album A Night at the Opera – Queen (EMI/Elektra, 1975)

2. Stairway to Heaven – Jimmy Page
Ini bukan sekadar solo gitar, ini mantra. Page tidak meledak di awal, tapi meniti bagian demi bagian menuju klimaks dalam sebuah narasi yang utuh. Tidak banyak gitaris yang mampu melakukan itu.
Referensi: Album Led Zeppelin IV (Atlantic Records, 1971)

3. Beat It – Eddie Van Halen
Eddie menyusup ke dunia pop dengan emosi rock yang melebihi ekspektasi, sebab ia mampu hadir dengan cara menari-nari di dalam komposisi. Solo gitarnya liar, dengan teknik yang bahkan masih terasa modern sampai saat ini—tapi tetap terasa catchy. Dia menciptakan badai di dalam lagu itu, akan tetapi badai itu sungguh terdengar sebagai badai yang indah.
Referensi: Album Thriller – Michael Jackson (Epic Records, 1982)

4. Hotel California – Don Felder & Joe Walsh
Dua gitar terdengar saling berbicara. Kadang saling menjawab, kadang menyatu. Solo ini bukan sekadar bagian dari lagu—ia adalah lagu itu sendiri. Sangat ikonik.
Referensi: Album Hotel California – The Eagles (Asylum Records, 1976)

5. November Rain – Slash
Soal soul dalam sebuah melodi gitar rasanya adalah citra yang melekat kuat dalam diri gitaris bernama asli Saul Hudson ini. Tak hanya di lagu ini, di banyak lagu Guns N’ Roses lainnya, Slash menjelaskan bahwa soal mentransfer penjiwaan dalam nada, ia adalah ahlinya. Di lagu November Rain, ia bermain dengan sangat sabar sehingga membangun kesan bahwa waktu serasa melambat. Part solo pertamanya adalah doa, dan solo terakhirnya adalah ledakan kesedihan yang tidak bisa dibendung. Seperti itu kira-kira kita dibawa berimajinasi oleh Slash di lagu ini.
Referensi: Album Use Your Illusion I – Guns N’ Roses (Geffen Records, 1991)

6. I Remember You – Scotti Hill
Mungkin akan sedikit orang yang menaruh lagu ini dalam daftar sejenis—terutama karena grup ini eksis di era glam rock, yang mana style dianggap lebih dominan ketimbang substansi untuk grup-grup di era itu. Tapi mendengarkan Scotti Hill memainkan melodi di lagu ini, kita bisa merasakan bahwa teknik dan kecepatan bisa juga terdengar begitu melodik. Begitu juga upaya eksplorasi sound yang menjadi ciri khas Scotti Hill tidak terdengar sebagai upaya menumpahkan seluruh kesaktian dalam sihir musik. Terdengar sangat pas.
Referensi: Album Skid Row (Atlantic Records, 1989)

7. Always – Richie Sambora
Solo Richie pada lagu ini menunjukkan kesabarannya dalam memperkuat kesan lagu secara utuh. Tidak ada kecepatan, tidak ada teknik yang rumit, tapi pilihan tiap notenya adalah kemampuannya dalam melahirkan nada-nada yang berbicara.
Referensi: Album Cross Road – Bon Jovi (Mercury Records, 1994)

8. Master of Puppets – Kirk Hammett
Jangan salah, metal juga bisa melodius. Solo Kirk di lagu ini seperti badai yang mendadak tenang. Di tengah kemarahan gelombang, dia menyelipkan bagian yang mengalun, membawa napas baru sebelum kembali mencapai dinamika yang emosional. Atmosfer thrash dan riff yang meledak-ledak diredam dengan satu kejutan berupa selipan satu bagian yang hampir terdengar seperti doa yang murung. Solo-nya adalah jeda di tengah kemarahan yang lembut—melodius tapi tetap terdengar maskulin.
Referensi: Album Master of Puppets – Metallica (Elektra Records, 1986)

9. Don’t Look Back in Anger – Noel Gallagher
Solo yang sederhana. Bahkan bisa dibilang terlalu simpel. Tapi justru di situlah keajaibannya. Noel tak perlu banyak nada untuk menjahit perasaan sentimental dalam lagu ini. Solo-nya adalah bentuk lain dari kalimat: menjadi sederhana adalah cara termudah untuk bisa dikenang selama mungkin di dalam memori estetika manusia.
Referensi: Album (What’s the Story) Morning Glory? – Oasis (Creation Records, 1995)

10. The Final Countdown – John Norum
Dibayangi riff keyboard yang sangat ikonik, solo gitar John Norum yang sangat “delapan puluh-an” ini mampu menjadi anthem yang sama kuatnya dengan riff keyboard-nya yang melegenda itu. Malah sesungguhnya kedua unsur inilah yang sebenarnya menjadi kekuatan utama dalam lagu The Final Countdown ini, alih-alih lagunya sendiri. Melodi disusun repetitif mengikuti struktur lagu dengan nada dan tempo yang tepat. Sehingga, walaupun secara teknik mudah ditiru oleh banyak gitaris, tetapi cara Norum berimajinasi dalam nada mampu menghasilkan sebuah solo gitar yang sulit dilupakan.
Referensi: Album The Final Countdown – Europe (Epic Records, 1986)

Tentunya Anda punya preferensi dan opini yang berbeda. Silakan sampaikan pendapat Anda di kolom komentar. Mungkin sekarang giliran saya yang mendapatkan jatah menjadi seorang pembaca—membaca tulisan Anda. Saya tunggu.