Masuk ke Dunia Schizoid: Sebuah Peringatan dari Masa Lalu yang Masih Relevan Hingga Kini

Lagu “21st Century Schizoid Man” oleh King Crimson dirilis pada tahun 1969 sebagai trek pembuka dalam album debut mereka, In the Court of the Crimson King, yang keluar pada 10 Oktober tahun itu. Saat itu, perang Vietnam sedang berlangsung, dan lagu ini secara tidak langsung mengkritik perang tersebut dengan lirik yang tajam dan atmosfer musik yang penuh ketegangan.

Lagu ini memiliki struktur yang kompleks dan terdiri dari beberapa bagian:

  1. Intro: Dimulai dengan riff gitar yang berat dan kompleks, diiringi solo saksofon yang liar dan tak terduga.
  2. Bagian Utama: Lagu kemudian bertransisi ke bagian utama dengan ritme yang lebih stabil dan melodis. Vokal Greg Lake yang khas menambah kesan dramatis dan penuh urgensi.
  3. Bagian Instrumental: Setelah bagian utama, lagu memasuki sesi instrumental yang menampilkan permainan gitar, saksofon, dan drum yang kompleks serta inovatif.
  4. Outro: Lagu diakhiri dengan suasana riuh, sesak, dan menekan, seakan-akan pendengar tak diberi kesempatan untuk bernapas sejenak. Sensasi ini mencerminkan kekacauan dan absurditas zaman. Bayangkan jika semua orang sebenarnya adalah Sisyphus yang dikutuk untuk menggulingkan batu besar ke puncak bukit, hanya untuk melihatnya kembali menggelinding ke bawah berulang kali.

Lirik lagu ini mencantumkan frasa seperti “Politicians’ funeral pyre/Innocents raped with napalm fire” dan “death seed”, yang jelas merujuk pada penggunaan Agent Orange oleh Amerika Serikat selama perang Vietnam. Agent Orange adalah herbisida dan defolian kimia yang digunakan militer Amerika untuk menghancurkan hutan serta tanaman yang menjadi tempat persembunyian Viet Cong. Zat ini mengandung dioksin yang sangat beracun, menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, kelainan genetik, dan gangguan reproduksi pada tentara AS maupun warga Vietnam yang terpapar.

Dampak Agent Orange tak hanya merusak manusia, tetapi juga ekosistem: hutan-hutan hancur, tanah dan air tercemar, serta banyak spesies hewan dan tumbuhan yang terancam punah. Pemerintah AS memang telah mengakui dampaknya dan memberikan kompensasi bagi tentaranya yang terdampak, tetapi banyak warga Vietnam yang masih menderita tanpa adanya bantuan yang memadai.

Konsep Schizoid Man sendiri adalah metafora atas hilangnya identitas dan ketidakmampuan berpikir kritis. Seolah-olah King Crimson telah meramalkan kondisi manusia di masa depan, yang terus-menerus dihantui dampak perang dan perkembangan dunia modern. Mereka mencoba menggambarkan bagaimana manusia telah terbelah menjadi dua, antara yang baik dan yang jahat, tanpa ruang bagi kompleksitas.

artwork Lagu “21st Century Schizoid Man” oleh King Crimson

Makna “terbelah menjadi dua” ini bisa dijelaskan melalui beberapa fenomena:

  1. Polarisasi: Manusia modern cenderung melihat dunia dalam dikotomi ekstrem—pro atau kontra, kiri atau kanan. Hal ini memperparah konflik sosial dan politik.
  2. Simplifikasi Berlebihan: Isu-isu kompleks seperti perang, kemiskinan, dan lingkungan sering dipersempit menjadi sekadar “baik” atau “jahat”, tanpa mempertimbangkan banyaknya faktor yang berperan.
  3. Kehilangan Empati: Manusia semakin sulit memahami perspektif orang lain, cenderung cepat menghakimi, dan melihat individu lain sebagai entitas monolitik, bukan makhluk multidimensional dengan latar belakang yang beragam. Padahal, empati adalah kemampuan mendasar yang memungkinkan kita memahami sesama manusia tanpa harus mengalami langsung penderitaan mereka.

Meskipun lagu ini dirilis lebih dari setengah abad yang lalu, pesan di dalamnya tetap relevan. Di era di mana informasi beredar dengan begitu cepat, kebenaran semakin mudah dipelintir dan dimanipulasi. Lagu ini mengingatkan kita akan pentingnya berpikir kritis dan melihat dunia dalam nuansa yang lebih kompleks. Ketersediaan informasi yang melimpah di media sosial seharusnya tidak membuat kita menelan mentah-mentah setiap narasi yang beredar, terutama jika informasi tersebut diambil di luar konteks atau setengah-setengah.

Manusia modern juga semakin mudah mendiagnosis dirinya sendiri dengan gangguan mental hanya berdasarkan bacaan singkat di internet. Padahal, bisa jadi perasaan-perasaan yang mereka alami bukanlah tanda “penyakit” dalam arti medis, melainkan berasal dari sistem kapitalisme yang membentuk kita untuk terus bergerak serba cepat sehingga kita lupa bahwa kita adalah manusia dan emosi-emosi yang keluar dari diri manusia tentu bersifat manusiawi juga sangat normal. Barangkali, yang kita butuhkan bukanlah label baru untuk menjelaskan kegelisahan kita, melainkan waktu untuk bernapas dan mengingat bahwa kita adalah manusia—bukan sekadar alat bagi sistem yang lebih besar.

Ketika manusia semakin mudah menjustifikasi manusia lain sebagai objek tanpa perasaan, ketika segala sesuatu diukur dalam hitungan matematis dan rumusan ilmiah yang kaku, kita sebenarnya telah menerima bahwa diri kita hanyalah sel-sel dalam sistem yang dibangun oleh modernitas. Kita tak lebih dari produk pasca-perang yang, secara kolektif, telah menciptakan dan mewujudkan 21st Century Schizoid Man.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top