oleh: Yuga Anggana
Saya mengenal Isvara pada awal 2022. Band ini terdiri dari tiga perempuan: Kiky (vokal), Gerha (gitar dan vokal), dan Via (keyboard). Mereka meminta saya menjadi session player untuk peluncuran album perdananya yang berjudul Kelana. Pertemuan ini menjadi awal perjalanan panjang kami, dari satu panggung ke panggung lain. Tahun berikutnya, saya kembali terlibat dalam produksi album kedua mereka, Relasi. Melalui perjalanan ini, saya menyaksikan perkembangan Isvara—baik dari segi musikalitas maupun konsep—hingga mereka menjadi salah satu band dengan ciri khas tersendiri di skena musik Lombok.
Ada sesuatu yang menarik dari Isvara yang membuat saya terus ingin terlibat. Meski seluruh personelnya perempuan, mereka memainkan musik yang cenderung progresif dengan pendekatan yang tidak biasa. Lagu-lagunya penuh dengan harmoni instrumen dan lirik kaya diksi, seolah setiap komposisi adalah cerminan perenungan mendalam. Meski tema yang mereka angkat sederhana—tentang cinta, kehidupan sehari-hari, dan relasi antar manusia—Isvara menyulapnya menjadi megah, berkat kejeniusan Gerha dalam memainkan akor-akor yang tidak lazim. Progresi lagu mereka melompati aturan family chord konvensional, menciptakan melodi tak terduga namun tetap harmonis. Dengan musik “cerdas”-nya, Isvara berhasil menunjukkan bahwa band perempuan tidak boleh dianggap remeh sebagai band yang “asal bisa main.” Racikan musik mereka yang terampil menciptakan segmentasi pasar khusus yang cocok dengan urban vibes.

Namun, di tengah puncak popularitas Isvara di kalangan pecinta musik Lombok, Kiky memutuskan untuk mundur sejenak dari dunia musik untuk fokus pada peran barunya sebagai seorang ibu. Keputusan ini menandai masa hiatus bagi Isvara, membawa mereka tenggelam dari sorotan. Hingga beberapa bulan lalu, saya mendengar kabar bahwa Gerha dan Via kembali berkarya di studio. Mereka menyiapkan proyek baru bernama Gerv. Dalam waktu singkat, mereka merilis tiga lagu: “Aku, Aku, Kamu, Kamu,” “25,” dan “Tentang Mati.”
Di antara ketiga lagu tersebut, “Aku, Aku, Kamu, Kamu” segera mencuri perhatian saya. Lagu ini memiliki ciri khas unik, terutama dari segi ritme yang menggunakan birama ganjil 7/8—sesuatu yang jarang ditemui dalam musik pop yang biasanya menggunakan birama genap seperti 4/4. Namun, yang membuatnya semakin menonjol adalah bagaimana mereka berhasil membawakan pola ritme ini dengan sangat alami, tanpa terkesan dipaksakan. Ritme ganjil ini justru memberikan elemen kejutan yang segar dan dinamis, membuat lagu ini terasa hidup dan menarik di tengah arus musik Lombok saat ini. Selain ritme, melodi catchy dalam lagu ini menjadi daya tarik tersendiri. Gerha dan Via berhasil menciptakan komposisi yang, meski rumit secara teknis, tetap mudah dinikmati. Ini adalah kombinasi yang jarang—musik yang rumit namun tetap pop dan accessible. “Aku, Aku, Kamu, Kamu” membahas relasi antar personal dengan pendekatan futuristik, baik dari segi lirik maupun aransemennya. Jika Isvara cenderung bermain aman dengan struktur birama sederhana, Gerv mengambil langkah berani dengan eksplorasi musikal yang lebih dalam.
Yang paling mengejutkan bagi saya justru datang dari dua lagu lainnya, “25” dan “Tentang Mati.” Kedua lagu ini menunjukkan keberanian Gerv dalam mengeksplorasi tema religius, sesuatu yang jarang sekali diangkat dalam karya-karya mereka sebelumnya. “25” adalah sebuah undangan reflektif untuk merenungkan dan mengapresiasi kisah 25 Nabi dalam ajaran Islam, dikemas dalam balutan musik elektronik modern yang kuat. Lagu ini memperlihatkan bagaimana musik kontemporer bisa menjadi medium yang relevan untuk menyampaikan pesan spiritual tanpa mengorbankan kedalaman tema.
Sementara itu, “Tentang Mati” membahas tema kematian—sesuatu yang sering dianggap berat atau pesimistis. Namun, Gerv mengemasnya dengan indah, menawarkan renungan filosofis tentang makna hidup dan apa yang ada setelahnya. Lagu ini, dengan atmosfer melankolis dan melodi lambat, memberikan ruang bagi pendengar untuk merenung tentang esensi kehidupan dan kematian sebagai bagian tak terpisahkan dari keberadaan manusia.

Meskipun kedua lagu ini mengangkat tema yang berat, Gerv berhasil menjaga agar musiknya tetap dapat dinikmati oleh berbagai kalangan. Baik mereka yang sekadar mencari hiburan maupun yang ingin menggali makna lebih dalam, lagu-lagu Gerv mampu mengakomodasi keduanya. Ini menunjukkan bahwa Gerv tidak hanya mahir dalam bermusik, tetapi juga dalam menyampaikan pesan yang bermakna, dengan sentuhan inovatif yang segar.
Perbedaan antara Isvara dan Gerv terlihat jelas. Jika Isvara lebih fokus pada tema-tema universal seperti cinta dan hubungan manusia, Gerv membawa kita lebih jauh ke ranah spiritual dan eksistensial. Namun, keduanya tetap menunjukkan musikalitas tinggi dan kedalaman lirik yang kuat. Bagi saya, Gerv sepertinya berhasil menjadi ruang lain di mana Gerha dan Via bisa melepaskan sisi idealis mereka dalam bermusik, berekspresi tanpa beban pertimbangan pasar yang sedang tren.