Negara Minta Bayar Royalti, Tapi Tak Mau Jelaskan Cara Mainnya

Saya masih ingat betul, suatu siang yang lengang di sebuah hotel pinggir pantai Senggigi, tahun 2022. Di sebuah aula, para pengkarya dari berbagai latar hadir dalam sebuah FGD bertajuk “Daftarkan Karyamu dan Dapatkan Royaltinya.” Judulnya terdengar menjanjikan. Terutama bagi kami—para musisi independen yang kadang lebih sering ditonton gratisan daripada dibayar. Yang datang bukan cuma musisi, tapi juga penulis buku, akademisi, dan pelaku industri kreatif lainnya.

Forum itu menghadirkan pihak Kemenkumham Kanwil NTB dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Topiknya jelas: pentingnya pendaftaran hak cipta demi perlindungan hukum. Tapi ketika saya bertanya, “Apakah mendaftarkan hak cipta itu otomatis membuat kita mendapatkan royalti?” Jawabannya tentu saja: tidak.

Rupanya, hak cipta hanya memberi perlindungan hukum. Soal royalti? Itu urusan Lembaga Manajemen Kolektif—LMK—yang katanya, saat itu ada sebelas di Indonesia, dan setiap pengkarya musik disarankan untuk mendaftarkan diri sebagai anggota salah satu LMK jika ingin mendapatkan royalti dari karyanya. Saya kembali bertanya, “Kalau begitu, LMK mana yang paling bagus buat musisi?” Jawaban mereka lebih mengejutkan lagi: “Kami tidak bisa merekomendasikan.” Katanya, masing-masing punya sistem dan teknis retribusi royalti tersendiri. Ada kelebihan, ada kekurangan. Tidak ada klasifikasi. Tidak ada pemeringkatan. Ini pernyataan yang juga berarti tidak ada monitoring, audit, bahkan tidak ada evaluasi resmi dari negara. Sebagai pengkarya, saya dibiarkan mengandalkan Google untuk mencari tahu mana LMK yang layak dipercaya.

Dalam hal ini, negara seakan menyerahkan urusan royalti ke pasar bebas informasi, tanpa pengawasan yang layak. Saya hanya bisa menggumam: PR kita soal royalti ini masih sangat banyak.


Kasus demi kasus mencuat. Setelah Agnez Mo digugat hingga ke meja hijau, lalu polemik panjang antara AKSI dan VISI yang membelah komunitas musisi seperti pertikaian politik dua kubu ormas, kini giliran seorang pemilik Mie Gacoan di Bali yang ditetapkan sebagai tersangka karena tidak membayar royalti. Sebagai penggemar mie Gacoan yang setia tiap kali lapar tengah malam, teror hukum ini mengejutkan saya.

Seorang kawan pelaku usaha kafe—tempat di mana saya bermain musik secara reguler—berkata, “Lah, kita udah langganan Spotify Premium. Masa iya harus bayar lagi?”

Saya bisa mengerti kebingungannya. Tapi itulah bedanya antara mendengarkan untuk konsumsi pribadi dan untuk konsumsi publik. Spotify Premium hanya mengizinkan pemutaran untuk pribadi. Jika kamu punya warung kopi dan memutar musik secara terbuka untuk pengunjung, maka itu masuk kategori penggunaan komersial. Dan di sinilah LMK—atau tepatnya LMKN—masuk ke meja tagihan.

Masalahnya bukan pada logika hukumnya. Masalahnya adalah ketidakjelasan mekanismenya.

Siapa yang sebenarnya menentukan tarif royalti? Apakah dihitung dari jumlah kursi pengunjung? Apakah tarifnya berlaku sama di semua kota? Adakah perbedaan perlakuan antara kafe kecil di sudut gang dan restoran besar di pusat kota? Lalu bagaimana jika musik yang diputarkan justru lagu-lagu dari luar negeri? Apakah LMK di Indonesia benar-benar mengirimkan royalti itu ke luar? Lewat siapa? Dengan data pemutaran yang sahih, atau sekadar asumsi?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk di kepala saya.

Lalu muncul satu lagi kegelisahan: jika lagu saya diputar di sebuah kafe, sementara lagu itu tidak terdaftar di LMK manapun, dan kafe tersebut tetap ditagih untuk membayar royalti oleh LMKN—ke mana larinya uang itu?

Secara prosedur, royalti itu akan diretribusikan kepada LMK, tapi karena lagu saya tidak terdaftar di salah satu LMK, maka saya sebagai pencipta tidak akan menerima apa-apa. Royalti itu akhirnya menjadi uang tanpa tuan. Uang yang tetap dikumpulkan, tapi tidak dikembalikan kepada pemiliknya. Beberapa kawan pengkarya menyebutnya sebagai uang dalam black box. Disimpan oleh negara, atau lebih tepatnya, oleh LMKN.

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini layaknya dijawab secara terbuka dan disusun dalam sistem yang tertata. Tapi yang kita hadapi hari ini justru sistem yang kabur. Hukum yang formal, tapi tak transparan. Tarif dipatok, tapi mekanisme pengelolaannya tidak dikomunikasikan dengan jelas. Lalu pelaku usaha dihadapkan pada ancaman pidana jika tak membayar.

Di mana akal sehat dan etikanya?


Saya membaca berita dari website resmi Kanwil Kemenkum NTB baru-baru ini. Di Mataram, mereka mengadakan FGD untuk para pelaku usaha, dengan menghadirkan narasumber dari LMK SELMI. Sekilas ini tampak seperti langkah maju. Tapi sayangnya, berita itu tidak menjelaskan apa hasilnya. Apakah ada kesepakatan? Apakah tarifnya ditentukan bersama? Apakah ada simulasi perhitungan? Apakah LMK menjelaskan bagaimana sistem distribusi royalti ke pencipta lagu?

Tidak ada informasi itu. Yang disampaikan hanya jargon. Tentang pentingnya menghargai hak cipta. Tentang perlunya kesadaran hukum. Tentang semangat kolaboratif. Padahal, yang dibutuhkan pelaku usaha dan para pengkarya hari ini bukan sekadar ajakan moral, tapi kejelasan teknis dan kepastian hukum. Tanpa itu, kita hanya akan melahirkan sistem royalti yang elitis dan eksklusif—yang menjaring korban hukum tanpa memberikan akses informasi yang setara. Yang menetapkan tersangka dari para pemilik usaha kecil, tapi tidak pernah membuka data ke publik soal ke mana dan kepada siapa royalti benar-benar dibayarkan.

Saya tidak anti royalti. Sebaliknya, saya sangat percaya bahwa karya kreatif harus dihargai secara ekonomi. Tapi sistem yang membayar seniman seharusnya dibangun dengan transparansi, akuntabilitas, dan edukasi yang merata.


Di balik segala keruwetan itu, saya membayangkan bentuk pengelolaan royalti yang tidak menempatkan seniman dan pelaku usaha pada posisi saling curiga. Bukan pula sistem yang berdiri di atas kerahasiaan, tapi yang tumbuh dari kepercayaan yang dibangun secara terbuka dan bersama.

LMKN yang dibentuk atas dasar Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sepatutnya berperan sebagai penghubung antarpihak, bukan penambah simpul masalah. Tapi di lapangan, yang terjadi sering kali justru sebaliknya: tarif tak kunjung jelas, prosedur tidak transparan, dan publik tidak tahu kepada siapa harus bertanya. LMK sebagai pelaksana teknis malah terlihat bersaing satu sama lain, berebut kuasa tarik royalti tanpa koordinasi, memunculkan ketegangan dan ketidakpercayaan.

Sementara itu, pencatatan penggunaan karya masih lemah. Validasi nyaris tak terdengar. Di beberapa tempat, sistem royalti terasa seperti lempar dadu—siapa saja bisa ditagih, tanpa bukti konkret apakah musik yang diputar benar-benar masuk daftar pengelolaan LMK.

Negara pun tampak memilih jalan aman. Alih-alih hadir sebagai penjamin keadilan, ia justru terkesan menyerahkan segalanya pada mekanisme pasar. Tidak ada pengawasan, tidak ada evaluasi, tidak ada laporan kinerja yang bisa diakses publik. Akibatnya, niat untuk melindungi hak cipta malah menjelma menjadi bentuk baru kriminalisasi terhadap pengguna musik. Sementara para pencipta, tetap tak tahu-menahu, apalagi menerima imbalan yang layak.

Kalau terus begini, sistem ini hanya akan melahirkan ketimpangan. Royalti menjadi ladang sanksi.
Dan para pengkarya yang namanya dicatut dalam tagihan hanya bisa terus bertanya dalam sunyi:
ke mana perginya uang yang dikumpulkan atas nama kami?

Yuga Anggana
Mataram, Juli 2025
(Pengkarya musik, pendidik, dan peminum kopi yang tidak selalu memutar lagu sendiri di warung sendiri)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top