Duo musik asal Labuan Bajo, Bunyi Waktu Luang, mencatatkan dua penampilan penting di Lombok dalam rangkaian tur mereka melintasi timur Nusantara tahun ini. Mengunjungi Makassar, Bima, hingga Pulau Lombok, duo Aden dan Rendra secara sadar memilih mengorbankan beberapa titik tur yang sudah direncanakan sebelumnya demi memastikan mereka dapat tampil di dua panggung komunitas paling aktif di Lombok: Panggung Lingkar Seni Wallacea (LSW) 2025 dan Pentas Selasa Warjack.
Keputusan tersebut terbukti tepat. Bunyi Waktu Luang mendapat sambutan hangat dari penonton, musisi, dan komunitas musik Lombok, serta memunculkan banyak percakapan penting tentang perkembangan musik di Labuan Bajo dan Lombok.


Mengapa Lombok Dipilih? “Kami Menyebutnya Belajar Tur”
Saat ditemui Konser Lombok di Kedai Kopi Sagatrah sehari sebelum tampil di Panggung LSW 2025 (17 November), Aden menjelaskan alasan utama mereka memilih Lombok sebagai titik penting dalam tur.
“Kami ingin singgah di tempat yang ada aktivitas komunitasnya. Rangkaian LSW 2025 ini jadi ruang belajar. Kami menyebut tur kami belajar tur,” ujar Aden.
Aden juga menegaskan bahwa mereka datang bukan sekadar untuk tampil, tetapi untuk mengamati dinamika ekosistem musik di Lombok, berdialog, dan membawa pulang inspirasi untuk komunitas di Labuan Bajo.
Panggung LSW 2025: Penampilan Penuh Eksplorasi dan Cerita
Pada malam 17 November, Bunyi Waktu Luang tampil dengan format dua gitar—Aden pada gitar akustik dan vokal, Rendra pada gitar elektrik. Meski banyak orang menyebut mereka sebagai “folk”, Aden dengan tegas menyatakan bahwa bandnya tidak ingin membatasi diri pada label tersebut.
“Soal genre itu kami kembalikan saja ke tafsiran teman-teman apresian,” ungkapnya sambil tersenyum.
Di panggung Sagatrah, musik Bunyi Waktu Luang terdengar seperti persilangan antara rock minimalis, eksplorasi bunyi, dan narasi vokal yang kuat. Dengan dua instrumen saja, mereka menghadirkan dinamika yang padat dan progresif. Banyak penonton menyandingkan nuansa musik mereka dengan semangat eksperimental ala Efek Rumah Kaca atau proyek turunan mereka, Pandai Besi.
Kolaborasi spontan dengan Minus Tulang Rusuk dari Samarinda semakin memperkuat kesan bahwa Bunyi Waktu Luang tidak hanya membawa musik, tetapi juga membawa gagasan.
Selasa Warjack: Ruang Komunitas dengan Riwayat Panjang
Keesokan harinya (18 November), Bunyi Waktu Luang tampil di Pentas Selasa Warjack—sebuah acara musik mingguan yang berlangsung di Warjack, sebuah ruang kecil berbentuk warung kopi di area Taman Budaya NTB.
Meski mungil, panggung Warjack memiliki reputasi besar. Musisi-musisi lokal, nasional, hingga internasional pernah tampil di sana, menjadikannya salah satu ruang musik paling konsisten dan penting di Lombok. Formatnya yang inklusif dan kuratorial memberi kebebasan bagi musisi untuk menampilkan karya orisinal, bereksperimen, atau berkolaborasi spontan.
Penampilan Bunyi Waktu Luang di ruang yang intim ini membuat karya mereka terasa lebih personal. Penonton yang hadir menyebutnya sebagai salah satu sesi paling reflektif dalam beberapa bulan terakhir.

Pertemuan Aden dan Yuga Anggana: Dialog Dua Ekosistem
Dalam kunjungan ini, terjadi percakapan panjang antara Aden dan Yuga Anggana, musisi sekaligus penggiat musik di Lombok dan pengelola media Konser Lombok. Keduanya membicarakan tantangan membangun ekosistem musik secara mandiri: dari pendataan, produksi, studio rekaman, hingga dokumentasi dan media.
Aden terkesan dengan bagaimana Lombok memiliki struktur komunitas yang mulai tertata secara organik: ruang produksi musik, studio, panggung komunitas seperti Warjack, hingga media informasi seperti Konser Lombok.
Sebaliknya, Yuga justru terinspirasi oleh keberanian Bunyi Waktu Luang membangun budaya tandingan di Labuan Bajo melalui Pesta Kampung dan aktivitas original song yang telah mereka gagas selama tiga tahun terakhir.
Menurut Yuga, ada hal yang sangat jarang dimiliki kelompok musik:
“Bunyi Waktu Luang bukan sekadar naik panggung dan memainkan karya mereka. Mereka membawa cerita, pengalaman, dan realitas Labuan Bajo dalam setiap lagu. Karya mereka terasa seperti laporan kondisi sosial-ekologis dari sebuah kota yang sedang berubah.”
Pertemuan dua perspektif ini kemudian membuka kemungkinan kerja sama lebih panjang antara komunitas musik Lombok dan Labuan Bajo.

Labuan Bajo dalam Suara, Cerita, dan Kritik
Melalui perbincangan dengan Konser Lombok, Aden menceritakan bagaimana musik di Labuan Bajo baru tumbuh sekitar 20 tahun terakhir. Budaya mencipta lagu juga masih muda, karena selama ini kota tersebut didominasi musik pop dan reggae untuk kebutuhan pariwisata. Oleh karena itu, Bunyi Waktu Luang mendorong ruang alternatif melalui Pesta Kampung yang mengharuskan karya orisinal ditampilkan.
Studio kecil mereka, Bawa Kolong Records, menjadi tempat memproduseri musisi muda dan membangun keberanian untuk membuat karya.
Isu-isu ekologi, budaya, pariwisata, dan tekanan ruang hidup di Labuan Bajo hadir sebagai tema utama di karya mereka, menjadikan musik Bunyi Waktu Luang bukan hanya ekspresi estetika, tetapi juga dokumentasi sosial.
Dua Hari, Dua Panggung, Satu Kesimpulan: Bunyi dari Timur Sedang Bertumbuh
Tampil dua hari berturut-turut di Lombok, Bunyi Waktu Luang meninggalkan kesan mendalam. Mereka datang dengan membawa musik, cerita, dan kesadaran; mereka pulang dengan membawa jaringan baru, energi baru, dan wawasan yang lebih luas tentang ekosistem musik di pulau tetangga.
Tur ini menegaskan bahwa musik bukan hanya perjalanan artistik, tetapi juga perjalanan membangun komunitas.
Dalam konteks itu, kehadiran Bunyi Waktu Luang di LSW 2025 dan Selasa Warjack bukan hanya sukses artistik, tetapi juga kontribusi penting dalam percakapan panjang tentang masa depan musik independen di kawasan timur Indonesia.