Suara-Suara dari Transisi Milenium: Klegoth Breaks dan Imajinasi Y2K

Sore itu, 21 September 2025, Mataram di minggu sore rasanya terlalu damai untuk sebuah ledakan suara. Tapi di Segara Space, di bawah lampu gantung yang temaram, di antara rak buku yang berderet rapi dan tanaman hias yang berlagak jadi penonton tambahan, sekelompok manusia sudah bersiap-siap untuk dihempas sesuatu yang lebih besar dari sekadar musik pengisi waktu senja. Showcase Kolom Space kali ini menghadirkan Klegoth Breaks, sebuah kelompok musik elektronik eksperimental yang namanya saja sudah terdengar seperti peringatan dini: hati-hati, di sini ada kesalahan-kesalahan kecil yang dirayakan.

Klegoth, dalam bahasa Sasak, berarti salah-salah kecil. Semacam tergelincir lidah kalau ngomong, atau salah pencet tuts piano karena kelingking kebablasan. Tapi di tangan para personelnya—Lexa di drum, John Genas di keyboard, Rafi di synthesizer, dan Iskandar di bass—kesalahan itu berubah jadi estetika. Semacam manifesto musik yang bilang: “Hei, dunia terlalu sibuk mengejar kesempurnaan, mari kita rayakan error sekalian.”

Dan di sinilah letak menariknya: selain memang musiknya yang unik, jarang terdengar atau ditampilkan di skena musik Lombok, suasana ruangan sederhana Segara Space yang intimate, waktu senja yang cerah jingga, dan format musik kamar yang diusung Klegoth Breaks menjadikan semuanya berpadu pas. Hasilnya adalah sebuah pengalaman yang bukan hanya terdengar, tapi juga terasa—menciptakan kesan yang memorable, setidaknya bagi saya sebagai penyimak. Meski namanya Klegoth berarti kesalahan kecil, ramuan komposisi musiknya jelas terkonsep rapi, jauh dari eksperimen acak yang rumit dan terkesan mengada-ada.

Sejak pukul empat sore, ruangan Segara Space yang homie itu sudah dipenuhi orang-orang yang sepertinya setuju dengan manifesto itu. Mereka datang bukan sekadar untuk nonton musik, tapi untuk merasakan sesuatu yang lebih intim: gabungan antara suara, ruang, dan manusia dalam satu ekosistem yang cair. Dan begitu gebukan pertama Lexa mendarat di drum, semua yang ada di ruangan itu tahu, ini bukan musik senja biasa.

Saya mencoba merunut apa yang sebenarnya terjadi di telinga saya. Lexa, dengan drum akustik plus bongo, cowbell, dan ragam cymbal-nya, memukul dengan tempo yang kadang bikin saya bertanya: ini masih musik atau sudah coding algoritma? Tangannya bergerak cepat, tapi aksennya presisi, stabil, kadang meledak tiba-tiba seperti bug yang sengaja dibiarkan hidup di sistem. Iskandar di bass menjaga semuanya tetap di jalur, konstan, sabar, seolah berkata: “Tenang kawan, biar Lexa bikin kekacauan, saya yang jaga fondasinya.” Ironisnya, meski dengan keterbatasan penglihatan, improvisasi bass Iskandar justru hampir tak pernah klegot. Kalau dunia ini adil, mungkin kita perlu mengakui bahwa sebagian besar dari kita yang berpenglihatan baik seringkali malah meleset dalam hal-hal penting.

Lalu ada John Genas, komandan diam-diam di balik keyboard Korg Triton dan Roland RD yang, buat saya, ibarat Ferrari di tengah lalu lintas musik kampung. Permainan akor-akornya jarang yang murni natural; dia senang bermain di wilayah nakal: akor-akor 7, 9, diminished, augmented, semua dipanggil ke pesta ini. Dan lucunya, saat Lexa ngebut di drum, John malah kerap memainkan tuts-tuts iringan pianonya dengan santai, kadang melayang-layang, kadang memberi aksen tajam sforzando atau mempermainkan durasi not ala aksen agogik. Seolah mereka sedang berdialog: satu ngebut, satu lagi mengingatkan bahwa tidak semua hal di dunia ini harus serba terburu-buru.

Rafi, di sisi lain, jadi semacam pelukis dadakan di kanvas suara itu. Dengan ragam sound FX, ambience, dan glitch yang muncul sekilas tapi bikin merinding, dia menambahkan lapisan futuristik yang mengingatkan saya pada era awal internet: suara modem dial-up, halaman web yang loading setengah mati, imajinasi tentang dunia digital yang waktu itu terasa seperti masa depan—sebelum kemudian dikuasai iklan skincare dan video TikTok.

Saya punya istilah tersendiri untuk menyebut komposisi musik Klegoth Breaks: musik Y2K. Bukan sekadar karena mereka main di tahun 2025, tapi karena ada sesuatu di musik mereka yang meminjam imajinasi transisi milenium: dari analog ke digital, dari manusia ke cyber, dari era yang masih percaya pada masa depan ke era yang mulai skeptis tapi tetap penasaran. Perpaduan drum akustik dengan synth digital, glitch, ritme patah-patah, dan sesekali melodi pentatonik Nusantara—melog, nyalendro, madenda—semuanya terasa seperti jembatan antara masa lalu dan masa depan. Bagi saya yang generasi milenial, ada nostalgia aneh di sana: seperti mendengar suara masa kecil bercampur dengan mimpi-mimpi futuristik yang dulu dijual majalah remaja awal 2000-an.

Dan di balik semua eksplorasi itu, mereka masih bisa membuat kita bergerak. Penonton di Segara Space petang itu, yang awalnya mungkin datang untuk sekedar nongkrong kalcer, lama-lama mulai manggut-manggut, beberapa malah tidak kuasa ikut menggoyang badan. Enam repertoar mereka selama satu setengah jam berjalan naik-turun seperti roller coaster: ada ruang untuk solo, ada momen canda-tawa, ada ketegangan ritmis yang tiba-tiba pecah jadi kehangatan.

Apakah musik ini untuk semua orang? Mungkin saja tidak. Sama seperti tidak semua orang bisa menikmati kopi hitam tanpa gula atau humor sarkastik di Twitter. Tapi di tengah dunia musik yang kadang terlalu rapi, terlalu diatur selera pasar, Klegoth Breaks datang seperti pop-up error di layar komputer: mengganggu, tapi justru mengingatkan kita bahwa tanpa error, tidak ada inovasi.

Mungkin sudah waktunya kita berhenti menganggap kesalahan sebagai musuh. Di tangan Klegoth Breaks, kesalahan kecil—klegot—jadi bahasa baru. Sebuah pesan bahwa musik tidak harus selalu ramah telinga, tidak harus selalu patuh aturan. Karena siapa tahu, dari bunyi-bunyi yang terdengar salah itulah lahir suara-suara masa depan.

foto: Norman Haekal

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top