Pencarian Musik Sangga Boemi

oleh: Agus K Saputra

Musik, bagi sebagian orang, hanyalah hiburan yang mengalun di latar keseharian. Namun, bagi Sangga Boemi, musik telah menjelma jalan hidup, ruang pencarian, sekaligus media untuk menyampaikan gagasan. Ketertarikannya pada musik berawal sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu, musik datang bukan sekadar sebagai nada, melainkan panggilan yang tumbuh dalam dirinya.

Seiring waktu, ketertarikan itu berkembang menjadi keterampilan, lalu perlahan menjelma menjadi karya yang menyuarakan isi hati serta pandangan hidupnya.

Perjalanan musikal Sangga dimulai lebih serius ketika ia duduk di bangku SMP kelas dua. Dari sekadar menyukai musik, ia mulai belajar memainkan alat musik secara langsung. Pengalaman pertamanya tampil di depan publik terjadi di sebuah acara Pentas Seni (pensi) sekolah, kemudian berlanjut ke ajang Gebyar Musik Kampus yang diadakan di Universitas Mataram (Unram).

Momentum ini bagai pintu yang terbuka lebar: sejak saat itu ia mulai merasakan getar panggung, sorot lampu, serta tepuk tangan yang membekas di dada. Sensasi itulah yang membuatnya kian yakin untuk menapaki jalan musik dengan lebih sungguh-sungguh.

Masa SMA menjadi fase penting berikutnya. Ia bersama teman-temannya sering mengikuti lomba-lomba band, bahkan sempat mewakili sekolah dalam berbagai ajang. Di periode inilah Sangga mulai berani menuangkan gagasan ke dalam bentuk lagu ciptaan sendiri.

Karya pertamanya lahir dari dorongan untuk mengekspresikan isi pikiran dan perasaan yang tidak cukup hanya diungkapkan lewat kata-kata. Dari titik itulah proses kreatif Sangga semakin terasah, hingga berlanjut ke masa perkuliahan dan bahkan terus berlanjut hingga kini.

Sangga Boemi memulai ngeband sejak SMP, namun keseriusannya untuk benar-benar berkarya baru terasa ketika ia duduk di bangku kuliah. Ia tidak hanya berhenti pada peran sebagai pengiring musik atau sekadar memainkan lagu orang lain, melainkan mulai menekuni proses penciptaan lagu dan membangun identitas musikalnya sendiri.

Sangga saat menjadi pemain bass

Salah satu tonggak perjalanan bermusiknya adalah bersama grup band Tunggang Gunung, dengan album bertajuk Cermin (tahun 2018). Album ini bukan sekadar kumpulan lagu, melainkan representasi dari pandangan sosial dan lingkungan sekitar yang mereka amati. Setiap lagu di dalamnya berfungsi layaknya pantulan kaca, memperlihatkan realitas yang sering kali luput diperhatikan.

Namun, perjalanan bermusik Sangga tidak berhenti hanya pada band. Ia juga menekuni jalur solo, yang memberikan ruang lebih bebas untuk mengeksplorasi gagasan pribadinya. Meski begitu, ia tetap menjaga keseimbangan antara dua dunia ini.

Intensitas manggung bersama band memang sedikit berkurang, salah satunya karena kesibukan masing-masing personel. Meski begitu, semangat kolaborasi tidak pernah padam. Bahkan, pada suatu Jumat (27/09), band Tunggang Gunung dijadwalkan tampil di acara teman-teman UKM Musik Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, menunjukkan bahwa gairah bermusik masih tetap terjaga.

Genre, Selera, dan Identitas Musik

Ada sebuah foto kenangan yang Sangga simpan baik-baik, diambil sekitar tahun 2007/2008, ketika ia masih SMP. Foto itu memperlihatkan dirinya saat awal-awal bermain musik: memegang bass sambil bernyanyi. Potret sederhana itu menjadi pengingat bahwa perjalanan panjang ini bermula dari langkah kecil, penuh keberanian, meski diiringi rasa canggung khas remaja.

Pendidikan formal Sangga pun turut memberi warna dalam pencarian dirinya. Tahun 2012, ia sempat menempuh kuliah di Fakultas Ekonomi Unram, jurusan D3 Perhotelan, meski akhirnya tidak diselesaikan. Lalu, pada tahun 2015 ia melanjutkan studi di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Mataram, jurusan Pendidikan Sendratasik, dan berhasil menuntaskannya pada 2019.

Latar belakang pendidikan ini semakin memperkaya perspektifnya tentang seni, sekaligus mengasahnya dalam melihat musik bukan hanya sebagai praktik, tetapi juga sebagai ilmu.

Jika ditanya mengenai genre, Sangga Boemi lebih sering menyebut karyanya berdekatan dengan progresif rock. Namun, band Tunggang Gunung juga kerap dipandang oleh pendengarnya sebagai bagian dari aliran post-rock, yang menekankan atmosfer, emosi, dan perjalanan nada lebih dari sekadar lirik. Bagi Sangga, genre hanyalah bingkai, sementara inti dari musik adalah kejujuran dan keberanian untuk menyampaikan pesan.

Ia menyadari bahwa selera musik setiap orang berbeda-beda. Ada yang menganggap karyanya lebih cocok untuk kalangan remaja hingga mahasiswa, karena nuansa progresif yang menantang sekaligus memberi ruang kontemplasi. Tetapi, Sangga tidak ingin membatasi pendengarnya dengan kategori-kategori kaku. Baginya, musik adalah bahasa universal. Siapa pun bisa terhubung, selama ada keterbukaan hati untuk mendengarkan.

Lebih jauh, Sangga memandang musik bukan semata hiburan. Ia percaya bahwa musik dapat menjadi media kampanye gagasan, sebuah cara menyampaikan pesan dan membangun kesadaran. Isu-isu lingkungan, sosial, dan kemanusiaan menjadi muatan yang sering ia angkat. Hal ini ia pandang penting, sebab musik punya kekuatan untuk menyentuh batin pendengarnya dengan cara yang lebih halus namun mendalam.

Sejak dulu memang ada band atau musisi yang mengangkat isu sosial dan lingkungan. Namun, menurut Sangga, sekarang ruangnya jauh lebih luas berkat perkembangan teknologi dan media sosial. Platform digital memungkinkan musisi menyampaikan gagasan secara cepat, menyebar lintas batas, dan langsung diterima pendengar. Musik, dalam konteks ini, bukan lagi sekadar hiburan sesaat, melainkan pernyataan sikap dan bahkan gerakan kultural.

Musik sebagai Kejujuran

Salah satu keyakinan yang paling dipegang Sangga adalah bahwa musik sejati lahir dari kejujuran. Baginya, karya musik yang baik bukanlah yang sekadar populer atau ramai diperdengarkan, melainkan yang mampu memancarkan otentisitas pembuatnya. Musik harus menjadi cerminan dari pengalaman, pandangan, dan perasaan penciptanya. Dari situ barulah sebuah karya bisa memiliki ruh yang utuh dan menyentuh hati pendengarnya.

Bagi Sangga, otentisitas inilah yang membuat musik bertahan. Sebuah lagu yang jujur akan tetap terasa segar, meskipun diputar puluhan tahun kemudian. Sebaliknya, musik yang diciptakan hanya demi mengejar tren cepat kehilangan makna. Oleh karena itu, ia selalu berusaha menghadirkan kejujuran dalam setiap karya, baik dalam format band maupun solo.

Musik, dalam pandangan Sangga, adalah bahasa yang menyeberangi batas: batas usia, latar belakang, hingga ruang sosial. Musik bisa menghibur, bisa mengajak berpikir, bahkan bisa menggerakkan perubahan. Oleh karena itu, setiap kali ia naik ke panggung atau merilis lagu, ia tidak hanya ingin menghibur, tetapi juga mengajak pendengarnya untuk merefleksikan hidup, lingkungan, dan realitas sosial di sekitar mereka.

Penampilan Sangga

Perjalanan Sangga Boemi dalam musik bukanlah cerita instan. Dari seorang anak sekolah dasar yang jatuh cinta pada nada, lalu remaja SMP yang berani manggung untuk pertama kali, hingga mahasiswa yang meneguhkan musik sebagai jalan hidup, semua adalah proses panjang pencarian. Kini, lewat karya bersama band Tunggang Gunung maupun proyek solonya, Sangga terus menapaki jalan itu dengan konsistensi.

Baginya, musik adalah napas kehidupan: tempat menuangkan gagasan, ruang untuk menyuarakan isu, sekaligus sarana untuk menjaga kejujuran diri. Ia tidak ingin sekadar menjadi musisi yang lewat, melainkan pembawa pesan yang bisa dikenang.

Dan mungkin, seperti album Cermin yang ia ciptakan, perjalanan musiknya akan terus menjadi pantulan dari kehidupan sosial dan lingkungan yang senantiasa berubah, namun selalu membutuhkan suara yang jujur untuk menyuarakannya.

#Akuair-Ampenan, 25-09-2025

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top